Kamis, 20 Maret 2014

Makalah Ushul Fiqh


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam mengkaji Islam adalah Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci. Melalui kaidah-kaidah Ushul Fiqh akan diketahui nash-nash syara’ dan hukum-hukum yang ditunjukkannya. Diantara kaidah-kaidah Ushul Fiqh yang penting diketahui adalah Istinbath dari segi kebahasaan, salah satunya adalah lafadz ‘am. Makalah ini akan membahas lafadz ‘am secara lebih mendalam.







BAB 11
PEMBAHASAN

1.    Pengertian lafaz ‘AM
Lafaz ‘AM adalah lafaz yang menurut kepada bentuk suatu lafaz yang tersimpul atau masuk didalamnya semua lafaz, didalam lafaz itu tersimpul atau masuk semua jenis sesuai dengan lafaz itu. Sebagaimana kita katakan “Al Insan” (Manusia), maka di dalam kata-kata Al Insan ini tersimpan semua manusia yang ada di dunia ini, baik manusia itu kecil maupun besar, baik dia merdeka maupun budak, baik dia bebas maupun terikat.
Maka yang dimaksud dengan ‘AM yaitu, suatu lafaz yang di pergunakan untuk menunjukkan suatu makna yang pantas (boleh) dimasukkan pada makna itu dengan mengucapkan sekali saja sepuluh kata “Ar-Rijil” maka lafaz ini meliputi semua laki-laki.
Dalam definisi lafaz “AM,  terdapat perbedaan dikalangan ahli ushul. Jika diteliti, dalam perbedaan itu tampak ada  titik kesamaan, danperbedaannya hanya dalam rumusannya saja karena berbeda dalam sudut pandangan.[1]
a.       Ibnu subki merumuskan defines yaitu lafaz yang meliputi pengertian yang patut baginya tanpa pembatasan.
b.      Abu Hasan al-Bashri yang diikuti beberapa ulama syafi’I memberikan definisi, yaitu lafaz yang meliputi semua pengertian yang patut baginya.
c.       Imam al-Ghazali memberikan definisi yaitu suatu lafaz yang menunjukkan dari arah yang sama kepada dua hal atau lebih.
d.      Al-Sarkhisi merumuskan  yaitu setiap lafaz yang  mengordinasi sekelompok nama dalam bentuk lafaz atau makna
e.       Ibn Hazm dari golongan ulama Zhahiri member definisi yaitu suatu lafaz yang berlaku untuk makna yang banya dalam bentuk perlakuan yang sama pada maknanya.
f.       Rindha mudhaffar dari kalangan syi’ah memberikan rumusan yaitu  lafaz yang mengandung (pemahaman) bagi semua apa yang patut bagi pengunaannya dalam penetapan hokum atas lafaz itu.
Dari beberapa rumusan itu dapat ditarik hakikat dari lafaz “AM yang mencakup jiwa dari setiap rumusan yaitu
a.       Lafaz itu hanya terdiri dari satu pengertian secara tunggal
b.      Lafaz tunggal itu mengandung beberapa afrad (satuan pengertian)
c.       Lafaz yang tungal itu dapat digunakan untuk setiap satuan pengertiannya secara sama dalam pengunaanya.
d.      Bila hokum berlaku untuk satu lafaz , maka hokum itu berlaku pula untuk setiap afrad yang tercakup didalam lafaz itu.

2.    Ruang Lingkup ‘AM
Setiap lafaz mengandung dua lingkup pembahasan yaitu
a.      Lafaz itu sendiri, yang tersusun dari huruf-huruf
b.      Makna atau arti yang terkandung dalam lafaz itu.
Para ulama ushul membahas persoalan tentang lafaz “am, apakah berada dalam lingkup lafaz atau lingkup makna.
a.       Jumhur ulama berpendapat bahwa ‘am itu pada hakikatnya berada dalam lingkup lafaz, karena ia menunjukkan pengertian-pengertian yang terkandung didalamnya.
b.      Sebagian kecil ulama berpendapat bahwa ‘AM itu juga menyangkut makna.
c.       Jumhur ulama berpendapat bahwa lafaz ‘am dapat juga digunakan untuk makna, namun kegunaan untuk makna itu hanya secara majazi, bukan dalam pengunaan yang sebenarnya, sebab kalau hakikatnya untuk makna, tentu akan berlaku untuk setiap makna.
d.      Qadhi Abdul Wahhab berpendapat bahwa tidak ada yang dapat dikaitkan kepada “am kecuali hanya lafaz.
e.       As- Sarkhisi (dari kalangan ulama hanafi) berpendapat bahwa tidak ada yang dapat digunakan pada makna kecuali bila pengunaannya hanya secara majazi  karenanya perlu penjelasan untuk itu.
f.       Segolongan ulama Irak berpendapat bahwa “am itu dapat digunakan untuk perbuatan dan hokum, dalam arti menanggungkan ucapan pada umumnya khitab meskipun tidak ada sasaran akhirnya.

3.    Sighat  yang digunakan untuk menunjukkan “AM
Sighat “AM ialah lafaz atau ucapan yang digunakan untuk umum. Para ulama berbeda pendapat dalam hal apakah ada lafaz tertentu yang digunaka untuk menunjukkan bahwa lafaz itru adalah “AM.
   Namun, dalam hal apakah ada lafaz tertentu yang menunjukkan bahwa lafaz itu adalah ‘am, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, yaitu:
1.      Abu Hasan Al-Asy’ari dan pengikutnya berpendapat bahwa tidak ada sighat tertentu untuk menunjukkan ‘am. Lafazh yang patut dijadikan ‘am atau khusus bila ada yang member petunjuk untuk salah satu di antaranya. Namun, sebelum adanya petunjuk kita harus tawaquf dengan menangguhkan dulu keumuman dan kekhususannya sampai menemukan dalil. Pendapat ini pun disetujui oleh Qadhi Abu Bakar al-Baqillani dan ulama kalam Murji’ah.
2.      Jumhur ukama fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi’I Hanbali danZahiri) berpendapat bahwa untuk menunjukkan ‘am itu memang ada lafaz tertentu yang mengikutinya, tanpa ada petunjuk dari luar yang menunjukkan keumumannya. Akan tetapi, di kalangan jumhur ulama ini, terdapat pula perbedaan pendapat tentang lafaz apa saja yang menunjukkan ‘am itu:
a.       Lafaz اﻟﺬ ي ,ﻛﻞ  ,  اﻟﺘﻲ, اي (syarat atau istifham atau mausul)  ﻣﺜﻰ (untuk waktu dalam bentuk isttifham atau syarat) ﺣﻴﺜﻤﺎاﻳﻦ (untuk tempat dalam bentuk syarat) ﻤﻦ (untuk istifham, syarat dan mausul) dan lafaz  ﺟﻤﻴﻊ
Dalam hal keumuman lafaz-lafaz di atas terddapat perbedaan pendapat;
a)      Ulama Syafi’iyah (Ibnu subki) berpendapat bahwa semua lafaz dan sighat ‘am secara hakiki. Alasannya adalah bahwa hal tersebut dapat dengan mudah dan cepat memahaminya.
b)      Kalangan ulama ushul lainnya mengatakan bahwa semua lafaz di atas secara hakiki adalah untuk khusush selain lafaz jami’. Alasannya bahwa itulah yang meyakinkan sedangkan penggunaan untuk ‘am hanya secara majazi yang hanya dapat diketahui bila ada dalil yang menunjukkannya.
c)      Ada juga segolongan ulama ushul yang mengatakan bahwa semua lafaz di atas digunakan secara serempak (musytarrak) antara’am dan khusush. Alasannya bahwa lafaz di atas pernh digunakan ‘am dan juga pernah digunakan untuk khusush.
d)     Al-Nawawi dari kalangan Syafi’iyah mengatakan bahwa اي dan ﻤﻦ yang  mausul tidak menunjukkan ‘am.
b.      Lafaz jama’ (kata ganda yang menggunakan alif lam (ال) yang menunjukkan jenis (jinsiyah) seperti  ﻗﺪاﻓﻠﺢاﻟﻣﺆﻤﻨﻮن dan idhafah seperti lafaz  pada اﻮﻵدﻛﻢ firman Allah, surat An-Nisa’ (4)        :                                        ﻳﻮﺻﻴﻜﻣﻢ ﷲ اﻮﻵ د ﻛﻢ
Allah mewasiatkan kepada kalian mengenai hak waris bagi anak laki-laki kalian.
a)      Ibnu Subki dari kalangan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa lafaz-lafaz tersebut menunjukkan ‘am selama tidak pasti digunakan untuk maksud lainnya, dengan alasan bahwa hal itulah yang mudah dan cepatt dipahami.
b)      Abu Hasyim berpendapat bahwa lafaz-lafaz tersebut bukanlah untuk ‘am secara mutllak. Kata lafaz tersebut hanya menunjukkan jenis yang juga berlaku unutuk sebagian satuan pengertiannya.
c)      Imam Haramian mengatakan bahwa lafaz-lafaz itu tidak menunjukkan ‘am bila ada kenyataan pengguunaan untuk maksud lain. Adanya kenyataan itu menjadikan lafaz itu berada di tengah-tengah antara ‘am dan khusush, sehungga menemukan qarinah yang menentukan secara pasti.
c.       Lafaz Mufrad (kata tunggal) yang menggunakan alif lam jinsiyah (menunjukkan jenis) seperti lafaz  اﻟﺴﺎﺮﻖ dalam  firman Allah surat al-Maidah (5): 38:
                                                            ﻮاﻟﺴﺎﺮﻖﻮاﻟﺴﺎﺮﻗﺔﻓﺎﻗﻂﻌﻮااﻳﺪﻳﻬﻤﺎ
Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan potonglah tangannya.
a)      Ibnu Subki dalam bukunya menjelaskan bahwa lafaz tersebut menunjukkan ‘am, dengan alasan bahwa itulah yang mudah dan cepat dipahami.
b)      Imam al-Razi berpendapat bahwa lafaz tersebut tidak menunjukkan secara mutlak karena menurutnya hanya menunjukkan jenis yang mencakup sebaagiabn satuan pengertiannya, seperti dalam ucapan ﺳﺮﺑﺖ (saya minum air). Alasan kelompok ini adalah bahwa penggunaan bukan untuk ‘am itulah yang diyakini, kecuali ada keterangan yang menunjukkan keumumannya.
c)      Imam Haramian dan al-Ghazali mengatakan bahwa lafaz tersebut bukan untuk ‘am bila lafaz mufrad (tunggal) tersebut untuk menunjukkan kemufradannya tidak menggunakan huruf ta (ت), karena dalam bentuk yang demikian lafaz mufrad itu hanya menunjukkan jenis yang mencakup sebagian satuan pengertiannya.
d.      Lafaz Nakirah dalam bentuk menidakkan (اﻟﻨﻜﺮﻩاﻟﻤﻨﻔﻴﺔ) atau (اﻟﻤﻨﻜﺮﻩﻓﻲﺳﻴﺎﻖاﻟﻨﻓﻲ) seperti dalam ucapan ﻻﺮﺟﻞﻓﻲاﻟﺪاﺮ atau ﻤﺎﻓﻰاﻟﺪاﺮﻤﻦﺮﺟﻞ (tidak ada laki-laki di rumah).
Lafaz-lafaz tersebut diakui menunjukkan ‘am. Namun tentang bagaiman dia menunjukkan atas ‘am itu terdapat beberapa perbedaan pendapat:
a)      Ibnu Subki menunjukkan bahwa penunjukannya atas ‘am adalah secara qath’I atau meyakinkan (ditentukan oleh bahasa yang berlaku untuk maksud tersebut); dalam arti penunjukkannya atas ‘am itu deengan cara muthabaqah.
b)      Imam al-Subki (dari kalangan ulama Syafi’iyah) dan kalangan ulama hanafiyah berpendapat bahwa penunjukkannya atas am itu bukan secara wadh’I (menurut yang ditentukan oleh bahasa) tetapi hanya menurut kelaziman secara “nash” bila dalam bentuk fathah (harkat baris di atas) seperti contoh pertama di atas dan secara lahir bila dalam bentuk kasrah (harkat baris di bawah) sepertii contoh kedua di atas. Alasan yang dikemukakan oleh golongan ini adalah bahwa nafyi (bentuk negative) pada dasrnya hanya menunjukkan mahiyah atau hakikat sesuatu yang melazimi setiap satuan pengertian (afrad) yang berpengaruh terhadap takhsish dengan niat.

  1. DALALAH  ‘AM
Secara umumnya, dalalaham boleh dibahagikan kepada tiga bahagian iaitu umum secara qat’i, khusus secara qat’i dan mutlak. ‘Am yang bermaksud umum secara قطعي  iaitu al-‘am yang terdapat qarinah (petunjuk) yang menafikan pengkhususannya (takhsis).
Firman Allah Ta’ala :
* $tBur `ÏB 7p­/!#yŠ Îû ÇÚöF{$# žwÎ) n?tã «!$# $ygè%øÍ ÞOn=÷ètƒur $yd§s)tFó¡ãB $ygtãyŠöqtFó¡ãBur 4 @@ä. Îû 5=»tGÅ2 &ûüÎ7B ÇÏÈ  
 ( Hud 11:6)
Maksudnya : Dan tiadalah sesuatupun dari makhluk-makhluk yang bergerak di bumi melainkan Allah jualah Yang menanggung rezekinya dan mengetahui tempat kediamannya dan tempat ia disimpan. semuanya itu tersurat di Dalam Kitab (Lauh Mahfuz) Yang nyata (kepada malaikat-malaikat Yang berkenaan).
Ayat ini menetapkan sunnatullah yang tidak menerima perubahan, maka ayat ini kekal bersifat umum dan ia merangkumi kesemua maknanya (afradnya) secara berterusan dan berkekalan.
Am yang bermaksud khusus secara قطعي iaitu al-‘am yang disertakan dengan qarinah (petunjuk) yang menafikan ia berterusan dalam keadaan umum.
Firman Allah Ta’ala :
ÏmŠÏù 7M»tƒ#uä ×M»uZÉit/ ãP$s)¨B zOŠÏdºtö/Î) ( `tBur ¼ã&s#yzyŠ tb%x. $YYÏB#uä 3 ¬!ur n?tã Ĩ$¨Z9$# kÏm ÏMøt7ø9$# Ç`tB tí$sÜtGó$# Ïmøs9Î) WxÎ6y 4 `tBur txÿx. ¨bÎ*sù ©!$# ;ÓÍ_xî Ç`tã tûüÏJn=»yèø9$# ÇÒÐÈ  
( al-Imran 3:97
Maksudnya: Dan Allah mewajibkan manusia mengerjakan Ibadat Haji Dengan mengunjungi Baitullah Iaitu sesiapa Yang mampu sampai kepadaNya.
Firman Allah Ta’alaمن استطاع   menunjukkan bahawa yang dikehendaki dengan ‘am iaitu الناس  ialah mereka yang mampu, maka tidaklah merangkumi mereka yang tidak mampu, kanak-kanak dan orang-orang gila pada peringkat permulaan lagi.[2]
‘Am mutlaq merupakan lafaz ‘am yang tidak mempunyai tanda atau dalil yang boleh mengkhususkannya. ‘Am mutlak boleh dibahagikan kepada dua iaitu qat’i dan zanni. ‘Am mutlak secara qat’i dapat dilihat pada firman Allah Ta’ala :

Maksudnya: Dan janganlah kamu makan dari (sembelihan binatang-binatang halal) Yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.
Lafaz مما dalam ayat di atas adalah ‘am yang mutlak secara qat’i kerana ia menunjukkan setiap yang tidak disebut nama Allah haram dimakan. Namun begitu, am mutlak secara zanni dapat dilihat berdasarkan sabda Baginda S.A.W:
ذبيحة المسلم حلال ذكر اسم الله او لم يذكر
Maksudnya: Sembelihan muslim halal sama ada menyebut nama Allah atau tidak.
Berdasarkan hadis ahad di atas, dapat dilihat bahawa ia telah mengkhususkan ayat al-Quran sebelumnya yang mana berdasarkan hadis tersebut sembelihan muslim adalah halal dimakan walaupun tidak menyebut nama Allah.
BAB 111
PENUTUP
KESIMPULAN

            Lafaz ‘AM adalah lafaz yang menurut kepada bentuk suatu lafaz yang tersimpul atau masuk didalamnya semua lafaz, didalam lafaz itu tersimpul atau masuk semua jenis sesuai dengan lafaz itu.
Dalam definisi lafaz “AM,  terdapat perbedaan dikalangan ahli ushul. Jika diteliti, dalam perbedaan itu tampak ada  titik kesamaan, danperbedaannya hanya dalam rumusannya saja karena berbeda dalam sudut pandangan.
a.       Ibnu subki merumuskan defines yaitu lafaz yang meliputi pengertian yang patut baginya tanpa pembatasan.
b.      Abu Hasan al-Bashri yang diikuti beberapa ulama syafi’I memberikan definisi, yaitu lafaz yang meliputi semua pengertian yang patut baginya.
c.       Imam al-Ghazali memberikan definisi yaitu suatu lafaz yang menunjukkan dari arah yang sama kepada dua hal atau lebih.
d.      Al-Sarkhisi merumuskan  yaitu setiap lafaz yang  mengordinasi sekelompok nama dalam bentuk lafaz atau makna
e.       Ibn Hazm dari golongan ulama Zhahiri member definisi yaitu suatu lafaz yang berlaku untuk makna yang banya dalam bentuk perlakuan yang sama pada maknanya.
f.       Rindha mudhaffar dari kalangan syi’ah memberikan rumusan yaitu  lafaz yang mengandung (pemahaman) bagi semua apa yang patut bagi pengunaannya dalam penetapan hokum atas lafaz itu.
Setiap lafaz mengandung dua lingkup pembahasan yaitu
a.      Lafaz itu sendiri, yang tersusun dari huruf-huruf
b.      Makna atau arti yang terkandung dalam lafaz itu.

Secara umumnya, dalalaham boleh dibahagikan kepada tiga bahagian iaitu umum secara qat’i, khusus secara qat’i dan mutlak. ‘Am yang bermaksud umum secara قطعي  iaitu al-‘am yang terdapat qarinah (petunjuk) yang menafikan pengkhususannya (takhsis).

SARAN
Saya sebagai penulis makalah ini menyadari adanya kekurangan dalam penulisan makalah ini, untuk itu saya menerima kritikan dan saran yang membangun dari dosen pembimbing dan teman-teman semua.























DAFTAR PUSTAKA
Ramayulis, ushul fiqh, penerbit, kalam mulia Jakarta, 1989
Al-qur’an dan Terjemahannya, Mujamma’ Al-Malik Fahd li Thibaat al Mush-haf, Madinah al Munawwarah 1994.Jazuli, A, Ushul Fiqh (Metodologi Hukum Islam), Jakarta, PT. Raja Grafido Persada, 2000.
Rifa’i, Moh, Ushul Fiqh,Jakarta, PT.Al-Ma’arif, 1979.
Satria Effendi, Prof.Dr.H, M.Zein, Ushul Fiqh, Jakarta, Prenada Media, 2005.














[1] Ramayulis, ushul fiqh, penerbit, kalam mulia Jakarta, 1989
[2] Al-qur’an dan Terjemahannya, Mujamma’ Al-Malik Fahd li Thibaat al Mush-haf, Madinah al Munawwarah 1994.Jazuli, A, Ushul Fiqh (Metodologi Hukum Islam), Jakarta, PT. Raja Grafido Persada, 2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar