BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Salah
satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam mengkaji Islam
adalah Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang
dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah
yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci. Melalui kaidah-kaidah Ushul Fiqh
akan diketahui nash-nash syara’ dan hukum-hukum yang ditunjukkannya. Diantara
kaidah-kaidah Ushul Fiqh yang penting diketahui adalah Istinbath dari segi
kebahasaan, salah satunya adalah lafadz ‘am. Makalah ini akan membahas lafadz
‘am secara lebih mendalam.
BAB
11
PEMBAHASAN
1. Pengertian
lafaz ‘AM
Lafaz ‘AM adalah lafaz
yang menurut kepada bentuk suatu lafaz yang tersimpul atau masuk didalamnya semua
lafaz, didalam lafaz itu tersimpul atau masuk semua jenis sesuai dengan lafaz
itu. Sebagaimana kita katakan “Al Insan” (Manusia), maka di dalam kata-kata Al
Insan ini tersimpan semua manusia yang ada di dunia ini, baik manusia itu kecil
maupun besar, baik dia merdeka maupun budak, baik dia bebas maupun terikat.
Maka yang dimaksud
dengan ‘AM yaitu, suatu lafaz yang di pergunakan untuk menunjukkan suatu makna
yang pantas (boleh) dimasukkan pada makna itu dengan mengucapkan sekali saja
sepuluh kata “Ar-Rijil” maka lafaz ini meliputi semua laki-laki.
Dalam definisi lafaz
“AM, terdapat perbedaan dikalangan ahli
ushul. Jika diteliti, dalam perbedaan itu tampak ada titik kesamaan, danperbedaannya hanya dalam
rumusannya saja karena berbeda dalam sudut pandangan.[1]
a.
Ibnu subki merumuskan defines yaitu
lafaz yang meliputi pengertian yang patut baginya tanpa pembatasan.
b.
Abu Hasan al-Bashri yang diikuti
beberapa ulama syafi’I memberikan definisi, yaitu lafaz yang meliputi semua
pengertian yang patut baginya.
c.
Imam al-Ghazali memberikan definisi
yaitu suatu lafaz yang menunjukkan dari arah yang sama kepada dua hal atau
lebih.
d.
Al-Sarkhisi merumuskan yaitu setiap lafaz yang mengordinasi sekelompok nama dalam bentuk
lafaz atau makna
e.
Ibn Hazm dari golongan ulama Zhahiri member
definisi yaitu suatu lafaz yang berlaku untuk makna yang banya dalam bentuk
perlakuan yang sama pada maknanya.
f.
Rindha mudhaffar dari kalangan syi’ah
memberikan rumusan yaitu lafaz yang
mengandung (pemahaman) bagi semua apa yang patut bagi pengunaannya dalam
penetapan hokum atas lafaz itu.
Dari beberapa rumusan itu dapat ditarik
hakikat dari lafaz “AM yang mencakup jiwa dari setiap rumusan yaitu
a.
Lafaz itu hanya terdiri dari satu
pengertian secara tunggal
b.
Lafaz tunggal itu mengandung beberapa
afrad (satuan pengertian)
c.
Lafaz yang tungal itu dapat digunakan
untuk setiap satuan pengertiannya secara sama dalam pengunaanya.
d.
Bila hokum berlaku untuk satu lafaz ,
maka hokum itu berlaku pula untuk setiap afrad yang tercakup didalam lafaz itu.
2.
Ruang Lingkup ‘AM
Setiap lafaz mengandung dua lingkup
pembahasan yaitu
a. Lafaz
itu sendiri, yang tersusun dari huruf-huruf
b. Makna
atau arti yang terkandung dalam lafaz itu.
Para ulama ushul
membahas persoalan tentang lafaz “am, apakah berada dalam lingkup lafaz atau
lingkup makna.
a.
Jumhur ulama berpendapat bahwa ‘am itu
pada hakikatnya berada dalam lingkup lafaz, karena ia menunjukkan
pengertian-pengertian yang terkandung didalamnya.
b.
Sebagian kecil ulama berpendapat bahwa
‘AM itu juga menyangkut makna.
c.
Jumhur ulama berpendapat bahwa lafaz ‘am
dapat juga digunakan untuk makna, namun kegunaan untuk makna itu hanya secara
majazi, bukan dalam pengunaan yang sebenarnya, sebab kalau hakikatnya untuk
makna, tentu akan berlaku untuk setiap makna.
d.
Qadhi Abdul Wahhab berpendapat bahwa tidak
ada yang dapat dikaitkan kepada “am kecuali hanya lafaz.
e.
As- Sarkhisi (dari kalangan ulama
hanafi) berpendapat bahwa tidak ada yang dapat digunakan pada makna kecuali
bila pengunaannya hanya secara majazi
karenanya perlu penjelasan untuk itu.
f.
Segolongan ulama Irak berpendapat bahwa
“am itu dapat digunakan untuk perbuatan dan hokum, dalam arti menanggungkan
ucapan pada umumnya khitab meskipun tidak ada sasaran akhirnya.
3.
Sighat yang digunakan untuk menunjukkan “AM
Sighat
“AM ialah lafaz atau ucapan yang digunakan untuk umum. Para ulama berbeda
pendapat dalam hal apakah ada lafaz tertentu yang digunaka untuk menunjukkan
bahwa lafaz itru adalah “AM.
Namun, dalam
hal apakah ada lafaz tertentu yang menunjukkan bahwa lafaz itu adalah ‘am, terdapat perbedaan pendapat di
kalangan ulama, yaitu:
1. Abu Hasan
Al-Asy’ari dan pengikutnya
berpendapat bahwa tidak ada sighat tertentu untuk menunjukkan ‘am. Lafazh yang
patut dijadikan ‘am atau khusus bila ada yang member petunjuk untuk salah satu
di antaranya. Namun, sebelum adanya petunjuk kita harus tawaquf dengan menangguhkan dulu keumuman dan kekhususannya sampai
menemukan dalil. Pendapat ini pun disetujui oleh Qadhi Abu Bakar al-Baqillani dan ulama kalam Murji’ah.
2. Jumhur
ukama fiqh (Hanafi, Maliki,
Syafi’I Hanbali danZahiri) berpendapat bahwa untuk menunjukkan ‘am itu memang
ada lafaz tertentu yang mengikutinya, tanpa ada petunjuk dari luar yang
menunjukkan keumumannya. Akan tetapi, di kalangan jumhur ulama ini, terdapat
pula perbedaan pendapat tentang lafaz apa saja yang menunjukkan ‘am itu:
a. Lafaz اﻟﺬ ي ,ﻛﻞ , اﻟﺘﻲ, اي (syarat atau istifham atau
mausul) ﻣﺜﻰ (untuk waktu dalam bentuk isttifham atau
syarat) ﺣﻴﺜﻤﺎاﻳﻦ (untuk tempat dalam bentuk syarat) ﻤﻦ (untuk istifham, syarat dan mausul) dan
lafaz ﺟﻤﻴﻊ
Dalam hal keumuman lafaz-lafaz di atas terddapat
perbedaan pendapat;
a) Ulama Syafi’iyah (Ibnu subki) berpendapat bahwa semua
lafaz dan sighat ‘am secara hakiki. Alasannya adalah bahwa hal tersebut dapat
dengan mudah dan cepat memahaminya.
b) Kalangan ulama ushul lainnya mengatakan bahwa semua
lafaz di atas secara hakiki adalah untuk khusush selain lafaz jami’. Alasannya
bahwa itulah yang meyakinkan sedangkan penggunaan untuk ‘am hanya secara majazi
yang hanya dapat diketahui bila ada dalil yang menunjukkannya.
c) Ada juga segolongan ulama ushul yang mengatakan bahwa
semua lafaz di atas digunakan secara serempak (musytarrak) antara’am dan
khusush. Alasannya bahwa lafaz di atas pernh digunakan ‘am dan juga pernah
digunakan untuk khusush.
d) Al-Nawawi dari kalangan Syafi’iyah mengatakan bahwa اي dan ﻤﻦ yang
mausul tidak menunjukkan ‘am.
b. Lafaz jama’ (kata ganda yang menggunakan alif lam (ال) yang
menunjukkan jenis (jinsiyah) seperti ﻗﺪاﻓﻠﺢاﻟﻣﺆﻤﻨﻮن
dan idhafah seperti lafaz pada اﻮﻵدﻛﻢ
firman Allah, surat An-Nisa’ (4) : ﻳﻮﺻﻴﻜﻣﻢ ﷲ ﰲ اﻮﻵ د ﻛﻢ
Allah
mewasiatkan kepada kalian mengenai hak waris bagi anak laki-laki kalian.
a) Ibnu Subki dari kalangan ulama Syafi’iyah berpendapat
bahwa lafaz-lafaz tersebut menunjukkan ‘am selama tidak pasti digunakan untuk
maksud lainnya, dengan alasan bahwa hal itulah yang mudah dan cepatt dipahami.
b) Abu Hasyim berpendapat bahwa lafaz-lafaz tersebut
bukanlah untuk ‘am secara mutllak. Kata lafaz tersebut hanya menunjukkan jenis
yang juga berlaku unutuk sebagian satuan pengertiannya.
c) Imam Haramian mengatakan bahwa lafaz-lafaz itu tidak
menunjukkan ‘am bila ada kenyataan pengguunaan untuk maksud lain. Adanya
kenyataan itu menjadikan lafaz itu berada di tengah-tengah antara ‘am dan
khusush, sehungga menemukan qarinah yang menentukan secara pasti.
c. Lafaz Mufrad (kata tunggal) yang menggunakan alif lam
jinsiyah (menunjukkan jenis) seperti lafaz
اﻟﺴﺎﺮﻖ dalam firman Allah surat
al-Maidah (5): 38:
ﻮاﻟﺴﺎﺮﻖﻮاﻟﺴﺎﺮﻗﺔﻓﺎﻗﻂﻌﻮااﻳﺪﻳﻬﻤﺎ
Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan potonglah tangannya.
a)
Ibnu
Subki dalam bukunya menjelaskan bahwa lafaz tersebut menunjukkan ‘am, dengan
alasan bahwa itulah yang mudah dan cepat dipahami.
b)
Imam
al-Razi berpendapat bahwa lafaz tersebut tidak menunjukkan secara mutlak karena
menurutnya hanya menunjukkan jenis yang mencakup sebaagiabn satuan pengertiannya,
seperti dalam ucapan ﺳﺮﺑﺖ
(saya minum air). Alasan kelompok ini adalah bahwa penggunaan bukan untuk ‘am
itulah yang diyakini, kecuali ada keterangan yang menunjukkan keumumannya.
c)
Imam
Haramian dan al-Ghazali mengatakan bahwa lafaz tersebut bukan untuk ‘am bila
lafaz mufrad (tunggal) tersebut untuk menunjukkan kemufradannya tidak
menggunakan huruf ta (ت), karena dalam bentuk yang demikian lafaz mufrad itu hanya
menunjukkan jenis yang mencakup sebagian satuan pengertiannya.
d.
Lafaz
Nakirah dalam bentuk menidakkan (اﻟﻨﻜﺮﻩاﻟﻤﻨﻔﻴﺔ) atau (اﻟﻤﻨﻜﺮﻩﻓﻲﺳﻴﺎﻖاﻟﻨﻓﻲ) seperti dalam ucapan ﻻﺮﺟﻞﻓﻲاﻟﺪاﺮ atau ﻤﺎﻓﻰاﻟﺪاﺮﻤﻦﺮﺟﻞ (tidak ada laki-laki di rumah).
Lafaz-lafaz tersebut diakui menunjukkan ‘am. Namun
tentang bagaiman dia menunjukkan atas ‘am itu terdapat beberapa perbedaan
pendapat:
a) Ibnu Subki menunjukkan bahwa penunjukannya atas ‘am
adalah secara qath’I atau meyakinkan (ditentukan oleh bahasa yang berlaku untuk
maksud tersebut); dalam arti penunjukkannya atas ‘am itu deengan cara
muthabaqah.
b) Imam al-Subki (dari kalangan ulama Syafi’iyah) dan kalangan
ulama hanafiyah berpendapat bahwa penunjukkannya atas am itu bukan secara
wadh’I (menurut yang ditentukan oleh bahasa) tetapi hanya menurut kelaziman
secara “nash” bila dalam bentuk fathah (harkat baris di atas) seperti contoh
pertama di atas dan secara lahir bila dalam bentuk kasrah (harkat baris di
bawah) sepertii contoh kedua di atas. Alasan yang dikemukakan oleh golongan ini
adalah bahwa nafyi (bentuk negative) pada dasrnya hanya menunjukkan mahiyah
atau hakikat sesuatu yang melazimi setiap satuan pengertian (afrad) yang
berpengaruh terhadap takhsish dengan niat.
- DALALAH ‘AM
Secara umumnya, dalalah ‘am boleh dibahagikan
kepada tiga bahagian iaitu umum secara qat’i, khusus secara qat’i
dan mutlak. ‘Am yang bermaksud umum secara قطعي iaitu al-‘am yang terdapat qarinah
(petunjuk) yang menafikan pengkhususannya (takhsis).
Firman
Allah Ta’ala :
*
$tBur
`ÏB
7p/!#y
Îû
ÇÚöF{$#
wÎ)
n?tã
«!$#
$ygè%øÍ
ÞOn=÷ètur
$yd§s)tFó¡ãB
$ygtãyöqtFó¡ãBur
4
@@ä.
Îû
5=»tGÅ2
&ûüÎ7B
ÇÏÈ
( Hud 11:6)
Maksudnya : Dan tiadalah sesuatupun dari makhluk-makhluk
yang bergerak di bumi melainkan Allah jualah Yang menanggung rezekinya dan
mengetahui tempat kediamannya dan tempat ia disimpan. semuanya itu tersurat di
Dalam Kitab (Lauh Mahfuz) Yang nyata (kepada malaikat-malaikat Yang berkenaan).
Ayat ini menetapkan sunnatullah yang tidak menerima
perubahan, maka ayat ini kekal bersifat umum dan ia merangkumi kesemua maknanya
(afradnya) secara berterusan dan berkekalan.
Am yang
bermaksud khusus secara قطعي iaitu al-‘am yang disertakan
dengan qarinah (petunjuk) yang menafikan ia berterusan dalam keadaan
umum.
Firman
Allah Ta’ala :
ÏmÏù
7M»t#uä
×M»uZÉit/
ãP$s)¨B
zOÏdºtö/Î)
(
`tBur
¼ã&s#yzy
tb%x.
$YYÏB#uä
3
¬!ur
n?tã
Ĩ$¨Z9$#
kÏm
ÏMøt7ø9$#
Ç`tB
tí$sÜtGó$#
Ïmøs9Î)
WxÎ6y
4
`tBur
txÿx.
¨bÎ*sù
©!$#
;ÓÍ_xî
Ç`tã
tûüÏJn=»yèø9$#
ÇÒÐÈ
( al-Imran 3:97
Maksudnya: Dan Allah mewajibkan manusia mengerjakan Ibadat
Haji Dengan mengunjungi Baitullah Iaitu sesiapa Yang mampu sampai kepadaNya.
Firman
Allah Ta’alaمن استطاع menunjukkan bahawa yang dikehendaki dengan ‘am iaitu
الناس
ialah mereka yang mampu, maka tidaklah merangkumi mereka yang tidak mampu,
kanak-kanak dan orang-orang gila pada peringkat permulaan lagi.[2]
‘Am mutlaq merupakan lafaz ‘am yang tidak mempunyai tanda atau dalil
yang boleh mengkhususkannya. ‘Am mutlak boleh dibahagikan kepada dua
iaitu qat’i dan zanni. ‘Am mutlak secara qat’i
dapat dilihat pada firman Allah Ta’ala :
Maksudnya: Dan janganlah kamu makan dari (sembelihan
binatang-binatang halal) Yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.
Lafaz
مما dalam ayat di atas adalah ‘am yang mutlak secara qat’i
kerana ia menunjukkan setiap yang tidak disebut nama Allah haram dimakan. Namun
begitu, am mutlak secara zanni dapat dilihat berdasarkan
sabda Baginda S.A.W:
ذبيحة المسلم حلال ذكر اسم الله او لم
يذكر
Maksudnya: Sembelihan muslim halal sama ada menyebut nama
Allah atau tidak.
Berdasarkan
hadis ahad di atas, dapat dilihat bahawa ia telah mengkhususkan
ayat al-Quran sebelumnya yang mana berdasarkan hadis tersebut
sembelihan muslim adalah halal dimakan walaupun tidak menyebut
nama Allah.
BAB 111
PENUTUP
KESIMPULAN
Lafaz ‘AM adalah lafaz yang menurut
kepada bentuk suatu lafaz yang tersimpul atau masuk didalamnya semua lafaz,
didalam lafaz itu tersimpul atau masuk semua jenis sesuai dengan lafaz itu.
Dalam definisi lafaz “AM, terdapat perbedaan dikalangan ahli ushul.
Jika diteliti, dalam perbedaan itu tampak ada
titik kesamaan, danperbedaannya hanya dalam rumusannya saja karena
berbeda dalam sudut pandangan.
a.
Ibnu subki merumuskan defines yaitu lafaz
yang meliputi pengertian yang patut baginya tanpa pembatasan.
b.
Abu Hasan al-Bashri yang diikuti
beberapa ulama syafi’I memberikan definisi, yaitu lafaz yang meliputi semua
pengertian yang patut baginya.
c.
Imam al-Ghazali memberikan definisi
yaitu suatu lafaz yang menunjukkan dari arah yang sama kepada dua hal atau
lebih.
d.
Al-Sarkhisi merumuskan yaitu setiap lafaz yang mengordinasi sekelompok nama dalam bentuk
lafaz atau makna
e.
Ibn Hazm dari golongan ulama Zhahiri
member definisi yaitu suatu lafaz yang berlaku untuk makna yang banya dalam
bentuk perlakuan yang sama pada maknanya.
f.
Rindha mudhaffar dari kalangan syi’ah
memberikan rumusan yaitu lafaz yang
mengandung (pemahaman) bagi semua apa yang patut bagi pengunaannya dalam
penetapan hokum atas lafaz itu.
Setiap lafaz mengandung dua lingkup
pembahasan yaitu
a. Lafaz
itu sendiri, yang tersusun dari huruf-huruf
b.
Makna atau arti yang terkandung dalam
lafaz itu.
Secara
umumnya, dalalah ‘am boleh dibahagikan kepada tiga bahagian iaitu
umum secara qat’i, khusus secara qat’i dan mutlak. ‘Am
yang bermaksud umum secara قطعي iaitu al-‘am yang terdapat qarinah
(petunjuk) yang menafikan pengkhususannya (takhsis).
SARAN
Saya sebagai penulis makalah ini menyadari adanya
kekurangan dalam penulisan makalah ini, untuk itu saya menerima kritikan dan
saran yang membangun dari dosen pembimbing dan teman-teman semua.
DAFTAR PUSTAKA
Ramayulis, ushul fiqh, penerbit,
kalam mulia Jakarta, 1989
Al-qur’an
dan Terjemahannya, Mujamma’ Al-Malik Fahd li Thibaat al Mush-haf, Madinah al
Munawwarah 1994.Jazuli, A, Ushul Fiqh (Metodologi Hukum Islam), Jakarta, PT.
Raja Grafido Persada, 2000.
Rifa’i, Moh, Ushul Fiqh,Jakarta, PT.Al-Ma’arif, 1979.
Satria Effendi, Prof.Dr.H, M.Zein, Ushul Fiqh, Jakarta, Prenada Media, 2005.
Rifa’i, Moh, Ushul Fiqh,Jakarta, PT.Al-Ma’arif, 1979.
Satria Effendi, Prof.Dr.H, M.Zein, Ushul Fiqh, Jakarta, Prenada Media, 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar