BAB I
PENDAHULUAN
Terkadang mungkin manusia pernah berfikir
kenapa kiata harus beribadah ? Kenapaada ibadah yang dinamakan shalat, zakat,
puasa, dan haji ?Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin
akan terjawab jika kita mempelajari filsafatibadah. Karena filsafat itu sendiri
adalah Teori atau analisis logis tentang prinsip-prinsipyang mendasari
peraturan, pemikiran, pengetahuan, dan sifat alam semesta. SedangkanIbadah
adalah Perbuatan yang dilakukan berdasarkan rasa bakti dan taat kepada
Allah,untuk menjalankan perintahnya, serta menjauhi segala laranganNya.
Sehingga dapatdiartikan bahwa filsafat ibadah adalah teori atau analisis logis
tentang prinsip-prinsip yangmendasari perbuatan yang dilakukan berdasarkan rasa
bakti dan taat kepada Allah. Jadisemua ibadah yang kita lakukan kepada Allah
itu tidak hanya sembarang dilakukan,tetapi sudah ada prinsip-prinsip yang
mendasarinya.Dalam makalah ini filsafat ibadah yang akan dibahas antaralain
filsafat shalat,filsafat zakat, filsafat puasa, dan filsafat haji
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ibadah
Menurut bahasa, kata ibadah
berarti patuh (al-tha’ah), dan
tunduk (al-khudlu).Ubudiyah artinya tunduk dan merendahkan
diri .Menurut al-Azhari, kata ibadah tidak dapat disebutkan kecuali untuk
kepatuhan kepada Allah.[1]
Ini sesuai dengan pengertian yang di kemukakan oleh
al-syawkani, bahwa ibadah itu adalah kepatuhan dan perendahan diri yang paling
maksimal.
Secara
etimologis diambil dari kata ‘ abada, ya’budu, ‘abdan, fahuwa ‘aabidun.
‘Abid, berarti hamba atau budak, yakni seseorang yang tidak memiliki
apa-apa, harta dirinya sendiri milik tuannya, sehingga karenanya seluruh
aktifitas hidup hamba hanya untuk memperoleh keridhaan tuannya dan
menghindarkan murkanya.
Manusia
adalah hamba Allah “Ibaadullaah” jiwa
raga hanya milik Allah, hidup matinya di tangan Allah, rizki miskin kayanya
ketentuan Allah, dan diciptakan hanya untuk ibadah atau menghamba
kepada-Nya:
$tBuràMø)n=yz£`Ågø:$#}§RM}$#urwÎ)Èbrßç7÷èuÏ9ÇÎÏÈ
“Dan Aku
tidak diciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (al-Zariyat/51:56)
Menurut istilah syara’ pengertian ibadah dijelaskan oleh
para ulama sebagai berikut:
Menurut Ibnu Taimiyah dalam kitabnya al-ubudiyah, memberikan penjelasan yang
cukup luas tentang pengertian ibadah.Pada dasarnya ibadah berarti merendahkan
diri (al-dzull).Akan tetapi, ibadah
yang diperintahkan agama bukan sekedar taat atau perendahan diri kepada
Allah.Ibadah itu adalah gabungan dari pengertian ghayah al-zull dan ghayah
al-mahabbah.Patuh kepada seseorang tetapi tidak mencintainya, atau
cinta tanpa kepatuhan itu bukan ibadah.Jadi, cinta atau patuh saja belum cukup
disebut ibadah. Seseorang belum dapat dikatakan beribadah kepada Allah kecuali
apabila ia mencintai Allah, lebih dari cintanya kepada apapun dan
memuliakan-Nya lebih dari segala lainnya.
Menurut uraiannya, Ibn Taimiyah sangat menekankan bahwacinta
merupakan unsur yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dari pengertian
ibadah.Menurutnya, agama yang benar adalah mewujudkan ubudiyah kepada Allah
dari segala seginya, yakni mewujudkan cinta kepada-Nya.Semakin benar ubudiyah
seseorang, semakin besarlah cintanya kepada Allah.
Dari beberapa keterangan yang
dikutipnya, Yusuf al-Qardawi menyimpulkan bahwa ibadah yang disyari’atkan oleh
Islam itu harus memenuhi dua unsur:
1. Mengikat
diri (iltizam) dengan syari’at Allah
yang diserukan oleh pararasul-Nya, meliputi perintah , larangan, penghalalan,
dan pengharaman sebagai perwujudan ketaatan kepada Allah.
2. Ketaatan itu harus tumbuh dari
kecintaan hati kepada Allah, karena sesungguhnya Dialah yang paling berhak
untuk dicintai sehubungan dengan nikmat yang diberikan.
Dalam pengertian yang luas ibadah meliputi segala yang
dicintai Allah dandiridhai-Nya, perkataan dan perbuatan lahir dan batin. Termasukdi
dalamnya shalat, puasa, zakat, haji, berkata benar dll.Jadi meliputi yang
fardhu, dan tathawwu’, muammalah bahkan akhlak karimah serta fadhilah insaniyah.Bahkan lebih lanjut,
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa seluruh agama itu termasuk ibadah.
B.
Hakikat dan Tujuan Ibadah
Hakikat ibadah
menurut Imam Ibnu Taimiyah adalah sebuah terminologi integral yang mencakup
segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah baik berupa perbuatan maupun
ucapan yang tampak maupun yang tersembunyi.
Dari definisi tersebut kita memahami bahwa cakupan ibadah
sangat luas.Ibadah mencakup semua sektor kehidupan manusia. Dari sini kita
harus memahami bahwa setiap aktivitas kita di dunia ini tidak boleh terlepas
dari pemahaman kita akan balasan Allah kelak. Sebab sekecil apapun aktivitas
itu akan berimplikasi terhadap kehidupan akhirat.[2]Allah SWT menjelaskan hal
ini dalam firman-Nya.
`yJsùö@yJ÷èttA$s)÷WÏB>o§s#\øyz¼çnttÇÐÈ`tBurö@yJ÷èttA$s)÷WÏB;o§s#vx©¼çnttÇÑÈ
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun
niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan
kejahatan sebesar zarrah pun, dia akan melihat (balasan)nya pula.”(QS Az-Zalzalah
99: 7-8)
Pada suatu risalah, Al-Ghazali
menyatakan bahwa hakikat ibadah adalah mengikuti Nabi Muhammad Saw. Pada semua perintah dan larangannya.Sesuatu yang bentuknya
seperti ibadah, tapi diperbuat tanpa perintah, tidaklah dapat disebut sebagai
ibadah.Shalat dan puasa sekalipun hanya menjadi ibadah bila dilaksanakan sesuai
dengan petunjuk syara’. Melakukan shalat pada waktu-waktu terlarang atau
berpuasa pada pada hari raya, sama sekali tidak menjadi ibadah, bahkan
merupakan pelanggaran dan pembawa dosa. Jadi, jelaslah bahwa ibadah yang hakiki
itu adalah menjujung perintah, bukan semata-mata melakukan shalat dan puasa,
sebab shalat dan puasa itu akan menjadi ibadah bila sesuai dengan yang
diperintahkan.
Akan tetapi, sesungguhnya ibadah dengan pengertian
yang hakiki itu merupakan tujuan dari dirinya sendiri. Dengan melakukan ibadah,
manusia akan selalu tahu dan sadar bahwa betapa lemah dan hinanya mereka bila
berhadapan dengan kekuasaan Allah, sehingga ia menyadari benar-benar
kedudukannya sebagai hamba Allah. Jika hal ini benar-benar telah dihayati, maka banyak manfaat
yang akan diperolehnya. Misalnya saja surga yang dijanjikan, tidak akan luput
sebab Allah tidak akan menyalahi janjinya. Jadi, tujuan yang hakiki dari ibadah
adalah menghadapkan diri kepada Allah SWT dan menunggalkan-Nya sebagai tumpuan
harapan dalam segala hal.
Kesadaran akan keagungan Allah akan menimbulkan kesadaran
betapa hina dan rendahnya semua makhluk-Nya. Orang yang melakukan ibadah akan
merasa akan terbebas dari beberapa ikatan atau kungkungan makhluk. Semakin
besar ketergantungan dan harapan seseorang kepada Allah, semakin terbebaslah
dirinya dari yang selain-Nya. Harta, pangkat, kekuasaan dan sebagainya tidak
akan mempengaruhi kepribadiannya. Hatinya akan menjadi merdeka kecuali dari
Allah dalam arti sesungguhnya. Kemerdekaan sesungguhnya adalah kemerdekaan
hati.
C.
FALSAFAT SHALAT
Shalat secara etimologi berarti
do’a, sedangkan menurut Terminologi agama Sholat adalah “Ucapan dan perbuatan
dalam bentuk tertentu yang dimulai dengan takbir dan d akhiri dengan salam”
Sholat adalah merupakan refleksi dari keimanan seorang hamba kepada Tuhannya,
oleh karena itu tidak akan ada gunanya iman kalau tidak dibuktikan amalan
nyata, Ketundukan dan kepatuhan digambarkan di dalam amalan sholat, diawali
dengan takbiratul ihram yang berarti pengakuan dari seorang hamba akan
kebesaran Allah swt disatu sisi dan pengakuan seorang hamba akan kelemahannya
dan ketikberdayaannya di sisi yang lain. Shalat merupakan tiang agama serta
kewajiban pokok yang diletakkan Tuhan di atas pundak hamba-hamba-Nya, karena:
1. Dari sisi
kebesaran Tuhan, salat merupakan konsekuensi dai keyakinan-keyakinan tentang
sifat-sifat Allah yang menguasai alam raa ini, termasuk manusia serta yang
kepada-Nya bergantung segala sesuatu.
2. Dari sisi manusia,
ia adalah makhluk yang memiliki naluri cemas, mengharap sehingga ia membutuhkan
sandaran dan pegangan dalam hidupnya.
Firman Allah SWT
x$Î)ßç7÷ètRy$Î)urÚúüÏètGó¡nSÇÎÈ
Artinya: “Hanya
Engkaulah yang kami sembah , dan Hanya kepada Engkaulah kami meminta
pertolongan ” (QS. Al-Fatihah; 5)
$ygr'¯»tz`Ï%©!$#(#qãZtB#uä(#qãYÏètGó$#Îö9¢Á9$$Î/Ío4qn=¢Á9$#ur4¨bÎ)©!$#yìtBtûïÎÉ9»¢Á9$#ÇÊÎÌÈ
Artinya: ”Hai
orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu”
(QS. Al Baqarah: 153)
Ø Hikmah dan rahasia sholat adalah:
1. Mengigat Allah dan menghidupkan rasa takut dan
tunduk kepadanya , dan menumbuhkan dalam jiwa rasa kebesaran dan kekuasaan-Nya.Hal
ini dimungkinkan karena dalam shalat terdapat bermacam-macambacaan. Apabila
arti bacaan difahami dan maksud-maksudnya diperhatikan, maka hal inidapat menyuburkan
asas tauhid yang ada dalam jiwa. Oleh karena itu shalatmerupakan suatu tali
penghubung antara manusia denganTuhannya.Allah berfirman dalam surat
Thaha/20:14:Dan dirikanlah shalat untuk
mengingat Aku
2. Menyucikan roh dan
menjauhkan dari perbuatan jahat
Dalam
shalat terdapat dialog antara manusia dengan Tuhan dan dalam dialog itukedua pihak saling berhadapan. Dalam
shalat seseorang memuja Tuhan,menyerahkan diri kepada-Nya, memohon supaya
dilindungi dari godaan setan,memohon diberi ampunan dan dibersihkan dari dosa,
dan memohon supaya diberi petunjuk ke jalan yang benar, serta dijauhkan
dari kesesatan
3. Mendidik dan
melatih manusia menjadi orang yang tenang.
Dalammenghadapi
segala penderitaan dan menghilangkan sifat kikirOrang yang benar-benar
mendirikan shalat, akan selalu terdorong untuk mengerjakan kewajiban dan
mendapat keteguhan pendirian, karena ia selalu ingatAllah. Oleh karena itu
memungkinkan dirinya menjadi orang yang sabar dandermawan.Allah berfirman dalam
surah al-Ma’aarij (70):22Sesungguhnya
manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila iaditimpa kesusahan
ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali
orang-orang yang mengerjakan shalat
4. Menghapus
dosa
Diriwayatkan oleh
Muslim dari Utsman Ibnu Affan bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:Tidak ada seorang muslim yang datang
kepadanya waktu shalat fardhu,kemudian ia membaguskan wudlu’nya, khusyu’nya,
dan ruku’nya melainkan hal itu menjadi penghapus dosa-dosanya yang telah
lalu selama dia tidak mengerjakan dosa besar dan demikianlah keadaan
sepanjang masa.
5. Mendidik
disiplin
Shalat
adalah ibadah yang sudah ditentukan waktunya. Allah berfirman dalamsurah
An-Nisa’(4):103:Sesungguhnya shalat itu adalah fardlu yang ditentukan waktunya atas
orang-orang yang beriman.
Dengan
adanya ketentuan ini maka seseorang yang mengerjakan shalat harusmengusahakan
supaya shalatnya datang tepat pada waktunya. Oleh karena ituseandainya
seseorang sedang melakukan sesuatu hal dan waktu shalat sudahhampir habis
sedang dia belum shalat, maka ia harus berhenti sebentar danmelakukan shalat
dahulu. Kalau kebiasaan ini dilakukan terus-menerus, dengansendirinya seseorang
dapat terdidik berdisiplin waktu
6. Mendidik
kebersihan
Diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Umar bahwasanya
Rasulullah SAW bersabda:Allah tidak menerima shalat dengan tidak
bersuci lebih dahulu.
Berdasarkan hadis
tersebut, maka setiap orang yang hendak shalat harusterlebih dahulu membersihkan dirinya,
pakaiannya, dan tempatnya. Hal ini berartimembiasakan seseorang untuk selalu
menjaga kebersihan
D.
FALSAFAT ZAKAT
Zakat menurut bahasa berarti suci atau subur.
Sedangkan zakat menurutistilah berarti mengeluarkan sebagian harta untuk diberikan kepada mereka
yang berhak, menurut aturan yang telah ditentukan Al-Qur’an dan Sunnah
Rasul.
Adapun Harta yang dinafkahkan dinamai zakat adalah
karena:
1. Menyucikan Diri Dari DosaRasulullah SAW
bersabda:
Shadaqah itu menghapuskan dosa sebagaimana air
memadamkan api
2.
Menyucikan
diri dari kekikiran dan cinta harta yang berlebihan
Allah berforman dalam surat at-Taubah ( 9 ) : 103
Ambilah shadaqah dari sebagian harta mereka, dengan shadaqahitu kamu
membersihkan(dari kekikiran dan cinta berlebih-lebihanterhadap harta benda) dan
menyucikan mereka (menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan
memprkembangkan harta benda mereka)
3.
Menyucikan
budi pekerti masyarakat dari sifat dengki dan dendam.
Pada umumnya
para fakir miskin mengetahui bahwa setiap orangkaya diwajibkan mengeluarkan
zakat, dengan demikian mereka merasamempunyai hak pada harta orang kaya. Oleh
karena itu, kalau orang kayatidak mengeluarkan zakat, mereka akan dengki dan
dendam. Tetapisebaliknya, kalau oramg kaya mengeluarkan zakat, maka rasa dengki
dandendam akan hilang, bahkan mereka mau menolong bila diperlukan
4.
Menyuburkan
atau memperbanyak pahala
Allah berfirman
dalam surah al-Baqarah ( 2 ) : 261 Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh)
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah serupa dengan sebutir
benih yang menumbuhkan 7 bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allahmelipatgandakan
(ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki dan AllahMaha Luas ( karunia-Nya) lagi
Maha Mengetahui
Salah satu keunikan Islam adalah
kelengkapannya sebagai agama (al-din). Islam tidak hanya sebuah agama yang
mangajar bagaimana manusia berhubungan dengan Tuhan saja (ibadah), tetapi juga
mengatur hubungan sesama manusia (mu’amalah). Kelima Rukun Islam mencerminkan
hubungan vertikal dan horizontal. Aturan-aturan Islam tidak bersifat normative,
yang berisi semata-mata ajakan moral, tetapi lebih dari itu, ia bermaksud
diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Zakat adalah satu contoh betapa Islam
mengatur urusan rakyat banyak (public matters). Tidak sama seperti ibadah
mahdhah (shalat dan haji).
Seseorang yang telah memenuhi syarat
dituntut untuk melaksanakannya, bahkan negara perlu campur tangan jika ada
orang-orang yang enggan melaksanakannya, seperti Abu Bakar Shiddiq, Khalifah
Islam pertama, pernah marah ketika sebagian kaum Muslimin di masa awal
pemerintahannya enggan membayar zakat dengan alasan Rasulullah saw telah wafat
sehingga kewajiban zakat menjadi gugur. Tidak tanggung-tanggung, Ia lalu
mengutus Khalid bin Walid menundukkan beberapa qabilah Arab yang murtad dan
enggan membayar zakat. Lalu kemudian mengorganisir pengumpulan dan distribusi
zakat.
Paling tidak ada 3 alasan yang dapat dikemukakan untuk
menggambarkan landasan filosofis dan kewajiban zakat:
a. Istikhlaf
(Penugasan sebagai khlaifah) Telah dijelaskan di awal, bahwa Allah lah pemilik
seluruh isi dunia ini, secara otomatis Allah juga lah penguasa harta-harta
manusia. Manusia hanya di berikan amanah untuk menjaga dan mengelolanya. Dengan
demikian konskuensinya manusia harus memenuhi perintah-perintah Allah dalam hal
ini kewajiban zakat.
b. Solidaritas Sosial
dan persaudaraan Manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan manusia lain. Dan
Zakat adalah alat yang sempurna untuk menterjemahkan prinsip Islam tentang persaudaraan
dan rasa kemanusiaan kedalam kehidupan yang nyata. Allah dengan sangat jelas
menginginkan agar zakat ditujukan sebagai suatu bentuk ‘kontribusi’ oleh setiap
Muslim, lelaki dan perempuan, terhadap kemajuan dan kesejahteraan suatu negara
Islam.
tbqãZÏB÷sßJø9$#uràM»oYÏB÷sßJø9$#uröNßgàÒ÷èt/âä!$uÏ9÷rr&<Ù÷èt/4crâßDù'tÅ$rã÷èyJø9$$Î/tböqyg÷ZturÇ`tãÌs3ZßJø9$#cqßJÉ)ãurno4qn=¢Á9$#cqè?÷sãurno4qx.¨9$#cqãèÏÜãur©!$#ÿ¼ã&s!qßuur4y7Í´¯»s9'ré&ãNßgçHxq÷zyª!$#3¨bÎ)©!$#îÍtãÒOÅ3ymÇÐÊÈ
“Dan orang-orang yang beriman,
lelaki dan perempuan, sebahagian mereka adalah menjadi ‘penolong’ bagi
sebahagian yang lain. Mereka menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka ta’at kepada Allah dan
Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (At-Taubah: 71).
E.
FALSAFAT PUASA
$ygr'¯»ttûïÏ%©!$#(#qãZtB#uä|=ÏGä.ãNà6øn=tæãP$uÅ_Á9$#$yJx.|=ÏGä.n?tãúïÏ%©!$#`ÏBöNà6Î=ö7s%öNä3ª=yès9tbqà)Gs?ÇÊÑÌÈ
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS. Al Baqarah ; 183)
Puasa (Shaum) dari segi bahasa berarti menahan diri. Sedangkan menurut
terminologi agama adalah menahan diri dari segala apa yang membatalkannya
seperti makan, minum, hubungan badan dan lain-lain sejak terbitnya fajar sampai
terbenamnya matahari karena Allah.
Aspek-Aspek Puasa:
a.
aspek Kejiwaan Seseorang yang berpuasa, senantiasa
akan menahan keinginan bahkan amarahnya, sehingga orang yang berpuasa akan
senantiasa menyandarkan dirinya dalam kesabaran. Seseorang yang berpuasa dengan
penuh kesabaran menanti saat berbuka bahkan lebih jauh bersabar dalam
menghadapi ganggunan dan caci maki yang ungkin ditujukan kepadanya. Kesabran
ini akibat dorongan ketaatan kepada Allah yang memerintahkannya berlaku
demikian.
b.
Aspek Sosial Aspek sosial dari berpuasa nampak dengan
jelas dengan diwajibkannya puasa secara serentak bagi umat islam di sluruh
dunia yakni pada satu bulan Ramadhan sehingga mereka hidup dalam suatu suasana
yang sama dan dalam hal ini mengantar pada keatuan arah dan rasa sama pula.
c.
Aspek Kesehatan Puasa secara umum membatasi aktifitas
pencemaran akibat pembatasan waktu kadar makanan yang dimakan. Dan hal ini
membawa dampak positif bagi kesehatan tubuh manusia, sehingga puasa dapat
menjadi terapi bagi sekian banyak penyakit, bahkan merupakan faktor penyembuhan
bagi penyakit-penyakit tertentu.
Allah swt memerintahkan: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa”.
(QS. Al-Baqarah:183). Allah swt mengakhiri ayat tersebut dengan “agar kalian
bertakwa”. Syekh Musthafa Shodiq al-Rafi’ie (w. 1356 H/1937 M) dalam bukunya
wahy al-Qalam mentakwil kata “takwa” dengan ittiqa, yakni memproteksi diri dari
segala bentuk nafsu kebinatangan yang menganggap perut besar sebagai agama, dan
menjaga humanisme dan kodrati manusia dari perilaku layaknya binatang.
Dengan puasa, manusia dapat menghindari diri dari
bentuk yang merugikan diri sendiri dan orang lain, sekarang atau nanti.
Generasi kini atau esok. Dalam ibadah puasa, Islam memandang sama derajat
manusia. Mereka yang memiliki dolar, atau yang mempunyai sedikit rupiah, atau orang
yang tak memiliki sepeserpun, tetap merasakan hal yang sama: lapar dan haus.
Jika sholat mampu menghapus citra arogansi individual manusia diwajibkan bagi
insan muslim, haji dapat mengikis perbedaan status sosial dan derajat umat
manusia diwajibkan bagi yang mampu, maka puasa adalah kefakiran total insan
bertakwa yang bertujuan mengetuk sensitifitas manusia dengan metode amaliah
(praktis), bahwasanya kehidupan yang benar berada di balik kehidupan itu
sendiri.
Dan kehidupan itu mencapai suatu tahap paripurna
manakala manusia memiliki kesamaan rasa, atau manusia “turut merasakan”
bersama, bukan sebaliknya. Manusia mencapai derajat kesempurnaan (insan kamil)
tatkala turut merasakan sensitifitas satu rasa sakit, bukan turut berebut
melampiaskan segala macam hawa nafsu. Dari sini puasa memiliki multifungsi.
Setidaknya ada tiga fungsi puasa: tazhib, ta’dib dan
tadrib. Puasa adalah sarana untuk mengarahkan (tahzib), membentuk karakteristik
jiwa seseorang (ta’dib), serta medium latihan untuk berupaya menjadi manusia
yang kamil dan paripurna (tadrib), yang pada esensinya bermuara pada tujuan
akhir puasa: takwa. Takwa dalam pengertian yang lebih umum adalah melaksanakan
segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya. Takwa dan kesalehan
sosial adalah dua wajah dari satu keping mata uang yang sama, mengintegral dan
tak dapat dipisahkan. Ada sejenis kaidah jiwa, bahwasanya “cinta” timbul dari
rasa sakit. Di sinilah letak rahasia besar sosial dari hikmah berpuasa.
F. FALSAFAT HAJI
Ibadah haji tentulah bukan hanya
sekadar lembaran sejarah yang harus diisi oleh kehidupan seorang muslim. Haji
juga bukan sekadar sepetak lahan di Jazirah gersang bernama Hijaz, yang setiap
tahun dibanjiri oleh ummat manusia. Haji bahkan bukan hanya sekadar rangkaian
amal ibadah dengan tatacara ketat yang harus dijalani oleh seorang muslim.
Lebih dari semua itu, ibadah haji adalah rahmat Ilahi yang diturunkan setiap
tahun pada waktu-waktu tertentu. Jauh di sebalik berbagai tatacara ibadah haji
yang indah itu, tersembunyi rahsia, idealisme, hikmah, dan kata-kata yang harus
kita gali dan kaji.
Haji adalah lambang persatuan dan
kesatuan umat. Ajaran ini tercermin sejak orang yang melaksanakan ibadah haji
memasuki miqat. Di sini mereka harus berganti pakaian karena pakaian
melambangkan pola, status, dan perbedaan-perbedaan tertentu. Pakaian
menciptakan batas palsu yang tidak jarang menyebabkan perpecahan di antara
manusia. Selanjutnya dari perpecahan itu timbul konsep “aku”, bukan “kami atau
kita”, sehingga yang menonjol adalah kelompokku, kedudukanku, golonganku,
sukuku, bangsaku, dan sebagainya yang mengakibatkan munculnya sikap
individualisme. Penonjolan “keakuan” adalah perilaku orang musyrik yang
dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Haji juga melambangkan
egalitarianisme. Mulai dari miqat mereka mengenakan pakaian yang sama yaitu
kain kafan pembungkus mayat, yang terdiri dari dua helei kain putih yang
sederhana. Semua memakai pakaian seperti ini. Tidak ada bedanya antara yang
kaya dan yang miskin, yang cukup makan dan yang kurang makan, yang dimuliakan
dan yang dihinakan, yang bahagia dan yang sengsara, yang terhormat dan orang
awam, yang berasal dari Barat dan yang berasal dari Timur. Mereka memakai
pakaian yang sama, berangkat pada waktu dan tempat yang sama, dan akan bertemu
pada waktu dan tempat yang sama pula. Mereka beraktifitas dengan aktivitas yang
sama dan menggunakan kalimat yang sama. Ibadah haji dan kurban juga menunjukkan
semangat ketundukan secara mutlak terhadap segala yang diperintahkan oleh
Allah. Ibadah kurban juga mengajak ummat manusia di dunia agar selalu
bersiap-siap untuk melakukan pembelaan terhadap agama dan ideologi. Surah
Al-Haj ayat 37 juga mengisyaratkan kepada ummat Islam bahwa yang paling penting
dari ibadah kurban adalah semangat untuk terus menempa diri hingga menjadi
hamba yang bertakwa. Disebutkan dalam surat itu bahwa daging dan darah hewan
sembelihan itu tidak akan sampai kepada Allah, karena memang Allah tidak
membutuhkan semua itu, dan yang dinilai oleh Allah adalah ketakwaan kita.
Karena itu, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa
tujuan yang harus dicapai oleh manusia dengan ibadah haji adalah pencapaian
tahap demi tahap nilai ketakwaan, hingga mencapai derajat manusia sempurna.
Keterpisahan dan hal-hal duniawi yang mengikat dan dari berbagai bentuk hawa
nafsu adalah pelajaran terpenting yang harus diserap oleh siapa saja yang
menjalankan ibadah haji ini.
BAB III
PENUTUP
Falsafat ibadat dan aspek-aspek yang dikemukakan dalam uraian ini dapat saja
diterima, ditolak atau ditambah oleh pemkiran-pemikiran lainnnya.
Apapun penafsiran serta filsafat
ibadat yang dikemukakan tidaklah dapat memberikan kepastian kebenaran,
khususnya yang bersifat materila keduniaan. Karena itu, kami mengutip nasehat
Mahmud Syaltut kepada kaum muslimin: “Hendaknya janganlah aspek-aspek material
tersebut yang dijadikan pegangan dan dianggap sebagai tujuan akhir dari
penentapan hukum-hukum syara’, hendaknya seseorang menempatkan ibadah dalam
posisi yang melebihi tingkat material tersebut”.
Ada ataupun tidak adanya filsafat ibadah, seorang muslim harus senantiasa
menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala bentuk yang dilarang oleh
Nya dan tetap akan menyatakan:
z`tB#uäãAqߧ9$#!$yJÎ/tAÌRé&Ïmøs9Î)`ÏB¾ÏmÎn/§tbqãZÏB÷sßJø9$#ur4<@ä.z`tB#uä«!$$Î/¾ÏmÏFs3Í´¯»n=tBur¾ÏmÎ7çFä.ur¾Ï&Î#ßâurwä-ÌhxÿçRú÷üt/7ymr&`ÏiB¾Ï&Î#ß4(#qä9$s%ur$uZ÷èÏJy$oY÷èsÛr&ur(y7tR#tøÿäî$oY/uøs9Î)urçÅÁyJø9$#ÇËÑÎÈ
Artinya: Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari
Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. semuanya beriman kepada
Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (mereka
mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang
lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan
Kami taat." (mereka berdoa): "Ampunilah Kami Ya Tuhan Kami dan kepada
Engkaulah tempat kembali."
DAFTAR PUSTAKA
Muhaimin, Abdul
Mujib dan Jusuf Mudzakkir, 2005, Kawasan
dan Wawasan Studi Islam, Jakarta: Kencana.
Suryadi dan R.
Nasrullah, 2008, Rahasia Ibadah Orang
Sakit, Bandung: Madania Prima
Husnan,
Djaelani, dkk. 2009. Islam Integral.
Jakarta : UNJ
tafany.wordpress.com/2009/12/24/filsafat-ibadah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar