ISLAM DAN POLITIK DI INDONESIA
I. PENDAHULUAN
Bicara
masalah Islam di Indonesia, kita mengenal dua tokoh pembaharuan Islam
di Indonesia. Mereka adalah Nurcholis Madjid dan Harun Nasution. Istilah
pembaharuan pemikiran Islam Indonesia telah merupakan trade mark yang
menempel pada nama Nurcholish Madjid (NM). Meskipun Harun Nasution (HN)
mempunyai gagasan serupa, label lebih sering diberikan kepada NM. Inti
pembaharuan pemikiran yang ditawarkan NM adalah liberalisasi dan
sekularisasi pemikiran Islam, sedangkan HN membawa ide rasionalisasi
pemahaman Islam.[1]
Dalam visi NM, berbicara tentang Indonesia
adalah berbicara tentang Islam di Indonesia. Ini hanya karena alasan
statistik, demografis dan sosiologis saja. Umat Islam adala mayoritas di
Indonesia. Karena itu, menurut NM, setiap visi tentang Indonesia,
pada dasarnya adalah tentang visi Islam di Indonesia. Itu sebabnya
sangatlah penting untuk melihat ppemikiran NM tentang Islam di Indonesia
sebagai latar belakang dari pemikirannya mengenai keindonesiaan. Menurut NM,
umat Islam dewasa ini menghadapi paradoks yang merupakan kenyataan yang
tidak bisa ditolak adanya. Di Zaman lampau, umat Islam mengalami
kemenangan, praktis tanpa kekuatan lain yang mengunggulinya, sehingga
sikap umat Islam pada waktu itu adalah sikap golongan yang menang,
unggul tak terkalahkan, bebas dari rasa takut, dan tidak pernah khwatir
kepada golongan lain. Tetapi di zaman kini, umat Islam tidak berdaya
menghadapi golongan lain, apalagi golongan-golongan yang diwakili oleh
Negara-negara yang “superpower”, yang Nurcholis sangat senang sekali melihat konteks ini, dulu mereka adalah umat beragama lain yang tidak berdaya menghadapi Islam. Dulu orang Islam melihat orang-orang yang disebut Ahl al-Kitab ini Yahudi dan Kristiani serta golongan agama yang lain sebagai istilah NM sendiri “momongan-momongan”,
sekarang mereka melihat golongan-golongan yang bukan Muslim itu,
sebagai sumber ancaman kepada Islam. Apalagi keadaan Islam sekarang
adalah lain sama sekali. Dimana-mana umat Islam kalah, baik militer,
politik maupun ekonomi. Dan, yang lebih memperburuk situasi, orang-orang
barat yang sedang menang itu terasa sangat sombong secara sosial dan
budaya.[2]
II. PEMBAHASAN
A. Islam dan Politik Indonesia
Bagaikan suatu perjalanan sentimental, membicarakan Islam dan politik di Indonesia
melibatkan kekhawatiran dan harapan lama yang mencekam. Daerah ini
penuh dengan ranjau kepekaan dan kerawanan, sehingga pekerjaan harus
dilakukan dengan kehati-hatian sekucupnya. Tapi berhati-hati tidaklah
berarti membiarkan diri terhambat dan kehilangan tenaga untuk melangkah,
sebab jelas pembicaraan harus dilakukan juga, mengingat berbagai alasan
dan keperluan. Karena itu, untuk memulai kajian ini, kita bisa
mengungkapkan hal-hal yang terjadi pada masa Orde Baru. Apakah yang
didapati dalam Orde Baru? Ada beberapa hal yang mungkin diingkari mengenai Orde Baru, yaitu stabilitas sosial politik dan pembangunan ekonomi.[3]
Peralihan
kekuasaan dari Soekarno ke Presiden Soeharto memberikan optimisme
politik yang besar kepada Natsir dan para mantan aktivis Masyumi.
Optimisme itulah yang memotivasi mereka untuk merehabilitasi Masyumi,
partai yang dibubarkan Soekarno 1960 akibat keterlibatan mereka dalam
gerakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia).
Optimisme itu kandas ditengah jalan. Sebab ternyata pemerintah Oede
Baru tidak merestui rehabilitas partai Islam itu. Karena seperti ditulis
Wertheim, pemerintahan Orde Baru Soeharto lebih khawatir dan takut
terhadap Islam dibandingkan dengan Soekarno.[4]
Natsir semakin menyadari bahwa kebijakan-kebijakan awal politik Orde
Baru memojokkan kalangan Islam disatu sisi dan menempatkan kelompok
kecil elite terdidik non-Muslim dalam posisi strategis dalam Negara.
Bahkan ia melihat adanya usaha sistematis dan terarah untuk
mengeliminasi umat Islam secara sosial, politik dan kebudayaan melalui
fusi partai-partai Islam awal 1970-an, intervensi pemerintah yang besar
dalam persoalan-persoalan internal dalam partai-partai Islam, perumusan
rencana undang-undang perkawinan, dimasukannya aliran kepercayaan dalam
GBHN, pelarangan libur bagi pelajar dibulan suci Ramadhan dan lain-lain.
Natsir juga mengamati strategi pembangunan ekonomi Orde Baru, yang
sekalipun diakuinya berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi, ternyata
telah memperlebar kesenjangan sosial ekonomi antara orang kaya dan
miskin. Yang kaya makin kaya dan miskin makin menderita. Mereka yang
tergolong miskin itu sebagian besar adalah kaum Muslimin, sedangkan yang
kaya adalah penduduk non-pribumi.[5]
Setelah Orde Lama hancur, kepemimpinan Indonesia
berada ditangan Orde Baru. Tumbangnya Orde Lama yang umat Islam ikut
berperan besar didalam menumbangkannya, memberikan harapan-harapan baru
kepada kaum Muslimin. Namun kekecewaan muncul di masa tersebut. Umat
Islam merasa, meskipun musuh bebuyutannya, komunis, telah tumbang
kenyataan berkembang tidak seperti yang diharapkan. Rehabilitasi
Masyumi, partai Islam berpengaruh yang dibubarkan Soekarno, tidak
diperkenankan. Bahkan, tokoh-tokohnya juga tidak diizinkan aktif dalam
partai Muslimin Indonesia (Parmusi) yang didirikan kemudian.
Orde
Baru memang sejak semula mencanangkan pembaruan sistem politik. Pada
tanggal 26 November 1966, dengan sebuah amanat dari presiden disampaikan
kepada DPRGR: RUU kepartaian, RUU pemilu dan RUU susunan MPR, DPR dan
DPRD. Yang kedua dan ketiga ditetapkan 22 November 1969. sedang yang
pertama terhenti. Pada 9 Maret 1970, fraksi-fraksi parpol di DPR
dikelompokkan. Tiga tahun kemudian, parpol difusikan ke dalam PPP dan
PDI (5 Februari 1973). Pada 14 Agustus 1975 RUU kepartaian disahkan.
Penataan kehidupan kepartaian berikutnya adalah penetapan asas tunggal,
pancasila untuk semua parpol, Golkar, dan organisasi lainnya, tidak ada
asas cirri, tidak ada idiologi Islam, dan oleh karena itu tidak ada
partai Islam. Asas tunggal merupakan awal dari era baru peran Islam
dalam kehidupan berbangsa ini. Peran politik (formal) Islam tidak ada
lagi, tetapi sebagai agama yang mengaku tidak memisahkan diri dari
persoalan politik, tentu peran itu akan terus berlangsung mungkin dengan
pendekatan yang berbeda.[6]
Meskipun umat Islam merupakan 87 persen penduduk Indonesia,
ide Negara Islam secara terus menerus dan konsisten ditolak. Bahkan,
partai-partai Islam, kecuali diawal pergerakan nasional, mulai dari masa
penjajahan hingga masa kemerdekaan, selalu mengalami kekalahan. Malah
dengan pembaharuan politik bangsa sekarang ini, partai-partai
(berideologi) Islam pun lenyap.
Menjelang
Pancasila diputuskan Sidang Umum MPR 1983 sebagai satu-satunya asas
kekuatan politik itu, banyak kalangan yang melontarkan suara-suara
kontra. Suara-suara itu makin tajam tatkala Pancasila pada akhirnya,
bukan saja diputuskan sebagai satu-satunya asas begi kekuatan-kekuatan
politik, tetapi juga terhadap organisasi-organisasi kemsyarakatan,
termasuk organisasi keagamaan di Indonesia.
Adalah sangat wajar kalau suara kontra itu banyak yang berasal dari
umat Islam. Bukan saja karena latar belakang sejarah yang pernah
dilaluinya, tetapi karena pada saat gagasan itu dilontarkan, sub-sub
idiologi yang pernah ada di Indonesia
sudah “terkena” gagasan itu. Hanya partai persatuan pembangunan (PPP),
fusi dari empat partai Islam Parmusi, NU, PSII, dan Perti, yang masih
mempunyai ideologi atau asas ciri, yaitu Islam.
Dengan
pengasastunggalan, sebagian umat Islam menganggap bahwa penyalur
aspirasi politik Islam hilang. Terdapat kekhwatiran di kalangan sebagian
mereka terhadap ancaman sekularisasi politik dan kehidupan sosial di Indonesia. Kekhawatiran itu muncul dari perasaan keagamaan mereka. Ada
anggapan bahwa dengan asas tunggal bagi kekuatan politik dan organisasi
kemasyarakatan, identitas keislaman mereka akan semakin memudar. Amal
usaha organisasi-organisasi keagamaan Islam pun dirasakan sia-sia.[7]
Untuk merumuskan situasi baru itu sekaligus memasyarakatkan
kebijaksanaan tersebut, beberapa kalangan yang sejak semula tidak
melihat kemungkinan lain, menyelenggarakan forum-forum yang berkenaan
dengan aspirasi politik Islam. Dengan menyelenggarakan kebijaksanaan dan
forum-forum tersebut dimaksudkan sebagai upaya modernisasi politik
bangsa itu, umat Islam diuntungkan karena dapat melepaskan diri dari
ikatan primodialismenya, pindah dari dunianya yang sempit ke dunia yang
lebih luas. Banyak pemikir Islam yang beranggapan, dengan ditariknya
Islam dari level politik, perjuangan kultural dalam pengertian luas
menjadi sangat relevan, bahkan mungkin dianggap justru lebih efektif.[8]
Apa
yang dimaksudkan dengan kebangkitan kembali Islam akhir-akhir ini bisa
jadi merupakan hasil kerja dari organisasi-organisasi Islam yang ada.
misalkan sejak dekade 1970-an, banyak bermunculan apa yang disebut
intelektual muda Muslim yang meskipun sering kontroversial, melontarkan
ide-ide segar untuk masa depan umat. Kebanyakan mereka adalah
intelektual Muslim yang berpendidikan “umum”. Yang terakhir ini sangat
mungkin adalah buah dari kegiatan-kegiatan organisasi-organisasi
mahasiswa Islam seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI, 1947) yang sangat
dominan diperguruan tinggi umum, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII) dan lain-lain.
Setelah
berlakunya asas tunggal, umat Islam dengan segala keberaniannya telah
melepaskan suatu wadah politik. Dengan lapang dada, mereka menerima
Pancasila dan berharap dapat mengisinya dengan nilai-nilai agama. Mereka
ingin agar pihak-pihak lain yang selama ini memandang curiga terhadap
“Islam”, dapat mempercayai ulama-ulama dan tokoh-tokoh Islam lainnya.[9]
B. Stabilitas, Demokrasi dan Nasionalisme
Beberapa
hal yang mungkin diingkari mengenai Orde Baru, yaitu stabilitas sosial
politik dan pembangunan ekonomi. Stabilitas itu terutama diwujudkan
dalam bentuk keamanan, ketertiban dan keutuhan wilayah Negara. Sedangkan
pembangunan ekonomi sering dinyatakan telah berhasil mengangkat kita
menjadi bangsa “dengan penghasilan menengah”. Sementara kedua hal itu
terjalin, namun tidak dapat diragukan bahwa yang lebih dominan dari
keduanya adalah stabilitas, yang dalam urutan signifikansinya mendahului
pembangunan ekonomi. Justru stabilitas diciptakan untuk memungkinkan
pembangunan ekonomi, sedangkan kontribusi keberhasilan pembangunan
ekonomi seperti yang ada sekarang bagi terwujudnya stabilitas malah
sering dipertanyakan orang, khususnya mereka yang menaruh keprihatinan
pada soal demokrasi dan keadilan sosial.[10]
Adalah
karena kemantapan stabilitas itu maka Orde Baru, tanpa sangat terasa
oleh kebanyakan orang, telah berlangsung sekian lamanya. Sebegitu jauh
akan pengalaman stabilitas dalam jangka waktu tiga dasawarsa ini adalah
unik dan baru untuk bangsa Indonesia.
Karena kenyataan ini maka stabilitas mengesankan sebagai sesuatu yang
pada dirinya memang baik dan dikehendaki orang banyak. Tapi,
sesungguhnya masih terdapat ruang untuk memeriksa kembali secara serius
apa sebenarnya wujud stabilitas itu yang secara hakiki menunjang usaha
menyiapkan pengembangan tatanan sosial politik yang maju di masa depan,
khususnya jika dikaitkan dengan usaha mewujudkan demokrasi dan keadilan
sosial.
Dibawah kajian yang lebih dari sekadar common sence, stabilitas
politik merupakan istilah yang cukup susah dan tidak jelas maknanya.
Tapi biasanya ia digunakan untuk suatu konsep multidimensional, yang
menggabungkan ide-ide kelanggenangan sistem, ketertiban sipil,
legitimasi dan keefektifen. Cirri terpenting kekuasaan demokratis yang
stabil ialah bahwa ia memiliki kemungkinan yang tinggi untuk tetap
demokratis dan mempunyai tingkat yang rendah untuk mengalami gangguan
kekerasan sosial, baik yang terbuka maupun yang tersembunyi. Kedua
dimensi kelanggengan system dan ketertiban sipil ini berkaitan erat, dan
yang pertama bisa dipandang sebagai persyaratan bagi yang kedua dan
menjadi indikatornya. Begitupula tingkat legitimasi yang dinikmati oleh
pemerintah dan keefektifan memerintahnya berkaitan satu sama lain dengan
kedua faktor tersebut.[11]
Serta bersama-sama dan dalam keadaan saling bergantung, keempat dimensi
kelanggengan system, ketertiban, legitimasi dan keefektifan ini
menandai stabilitas yang demokratis. Bahkan sebenarnya suatu stabilitas
politik haruslah dengan sendirinya bersefat demokratis, sebab stabilitas
yang tidak demokratis adalah semu, yang didalamnya terkandung
bibit-bibit kekacauan yang destruktif bagaikan sebuah bom waktu.
Sudah
menjadi proposisi yang sangat mapan dalam ilmu politik bahwa mencapai
dan memelihara pemerintahan yang demokratis dan stabil dalam suatu
masyarakat mejemuk itu sulit. Bahkan jauh kebelakang, ke Yunani kuno,
Aristoteles telah mengatakan bahwa “Negara bertujuan untuk mewujudkan
dirim sejauh mungkin menjadi suatu masyarakat yang terdiri dari
orang-orang yang sama derajad dan pasa sejawat.” Keseragaman sosial dan
konsesus politik dianggap sebagai persyaratan untuk, atau faktor yang
mendukung bagi demokrasi yang stabil. Sebaliknya perpecahan sosial dan
peradaban politik yang mendalam dalam masyarakat majemuk sianggap
bertanggung jawab untuk ketidakstabilan dan keruntuhan dalam
sistem-sistem demokratis.[12]
Di
Negara-negara demokratis pemikiran yang mendasari konsep partisipasi
politik ialah bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat, yang melaksanakannya
melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa
depan masyarakat itu dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegang
tampuk pimpinan. Jadi, partisipasi politik merupakan pengejewantahan
dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang abash oleh rakyat.[13]
Demokrasi
sendiri adalah suatu konsep yang hampir-hampir mustahil untuk di
takrifkan. Cukuplah dikatakan bahwa demokrasi adalah suatu sinonim
dengan apa yang disebut dengan polychy. Demokrasi dalam
pengertian itu bukanlah system pemerintahan yang mencakup keseluruhan
cita-cita demokratis, tetapi yang mendekatinya sampai batas-batas yang
pantas. Setiap bentuk pengaturan politik yang tangguh dan abash,
lebih-lebih lagi yang demokratis, memerlukan ikatan bersama yang antara
lain berbentuk kesetiaan dasar, suatu komitmen pada sesuatu yang lebih
menggerakkan perasaan, yang terasa lebih hangat dalam lubuk jiwa
daripada sekadar seperangkat prosedur, dan yang barangkali malah lebih
kuat daripada nilai-nilai demokratis tentang kemerdekaan dan persamaan.
Dalam dunia modern perekat politik itu ialah rasa kebangsaan.
Rasa kebangsaan sebagai ideologi adalah telah pernah menimbulkan masalah hangat dalam masa menjelang kemerdekaan. Para
penentang nasionalisme terutama dalam kubu-kubu politik Islam, karena
paham itu dalam beberapa segi bisa merupakan perwujudan kembali paham
kesukuan zaman Jahiliyah yang Islam datang untuk menghapuskannya.
Tambahan lagi saat itu nasionalisme telah menyingkapkan wajahnya yang
paling buruk, yaiyu chauvinisme Jerman, Italy dan Jepang yang menyeret
umat manusia ke malapetaka Perang Dunia II. Kini paham kebangsaan Indonesia
diletakkan dalam satu rangkaian dengan paham-paham lain yang diharap
bisa mengeceknya yaitu terutama paham Ketuhanan dan Perikemanusiaan. Dan
rumusan tertingginya pun diperlunak menjadi Persatuan Indonesia[14]
C. Budaya Politik Indonesia
Sebenarnya, sangat sulit untuk melakukan identifikasi budaya politik Indonesia,
karena atributnya tidak jelas. Akan tetapi, satu hal yang barangkali
dapat dijadikan titik tolak untuk membicarakan masalah ini adalah adanya
sebuah pola budaya yang dominan, yang berasal dari kelompok etnis yang
dominan pula, yaitu kelompok etnis Jawa. Etnis ini sangat mewarnai
sikap, perilaku dan orientasi politik kalangan elite politik di
Indonesia. Oleh karena itu, ketika Claire Holt, Benedict Anderson, dan
James Siegel menulis Political Kulture in Indonesia, pembicaraan awal yang dikemukakan adalah menyangkut konsep kekuasaan dalam masyarakat Jawa. Menurut analisis Anderson,
konsep tentang kekuasaan dalam masyarakat Jawa berbeda sekali dengan
apa yang dipahami oleh masyarakat Barat. Karena, bagi masyarakat Jawa,
kekuasaan itu bersifat kongkret, besarannya konstan, sumbernya homogen, dan tidak berkaitan dengan persoalan legitimasi.
Hal ini berbeda dengan masyarakat Barat, dimana kekuasaan itu bersifat
abstrak dan berasal dari berbagai macam sumber, seperti uang, harta
kekayaan, fisik, kedudukan, asal-usul, dan lain sebagainya. Karena
kekuasaan itu berasal dari sumber yang satu, maka sifatnya konstan. Dan
selama sumber kekuasaan itu tetap memberikan kekuasaan, maka kekuasaan
seorang penguasa akan tetap legitimate dan tidak perlu dipersoalkan.[15]
Diantara
konsep ilmu politik yang banyak dibahas dan dipermasalahkan adalah
kekuasaan. Hal ini tidak mengherankan sebab konsep ini sangat mendasar
dalam ilmu sosial pada umumnya dan pada ilmu politik khususnya. Malahan
pada suatu ketika politik dianggap tidak lain dari masalah kekuasaan
belaka. sekalipun pandangan ini telah diringgalkan, kekuasaaan tetap
merupakan gejala yang dangat sentral dalam ilmu politik.[16]
Adapun
konsep kekuasaan adalah, kebanyakan sarjana berpangkal tolak dari
perumusan sosiolog Max Weber dalam bukunya Wirtschaft und Gesellschaft
(1922) bahwa: “kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan
sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan,
dan apapun dasar kemampuan ini”. Sebagai contoh pemikiran semacam
ini dapat disebut sebagai perumusan dari beberapa sosiolog seperti
misalnya Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan yang mengatakan “kekuasaan
adalah suatu hubungan dimana seseorang atau kelompok orang dapat
menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain agar sesuai dengan
tujuan dari pihak pertama”
Selanjutnya
dianggap bahwa kekuasaan terutama nampak dalam proses membuat
keputusan. Dan dalm hubungan ini Laswell dan Kaplan mengatakan bahwa
keputusan pada hakekatnya adalah kebijakan yang menyangkut sanksi berat.
“ kekuasaan adalh partisipasi dalam pembuatan keputusan. G mempunyai
kekuasaan atas H mengenai nilai K, jika G turut dalam pembuatan
keputusan yang menyangkut kebijakan K dari H”. adapula beberapa
sarjana, seprti misalnya sosiolog Van Doorn, yang terkesan oleh kaitan
antara kekuasaan dan tindakan manusia, dan mengatakan bahwa: “kekuasaan
adalah kemungkinan untuk membatasi alternatif-alternatif bertindak dari
seseorang atau suatu kelompok sesuai dengan tujuan dari pihak pertama”.[17]
Masyarakat
Jawa dan sebagian besar masyarakat lain di Indonesia, pada dasarnya
bersifat hierarkis. Stratifikasi sosial bukan didasarkan atas atribut
sosial yang bersifat materialistik, tetapi lebih pada akses kekuasaan. Ada pemilahan yang tegas antara mereka yang memegang kekuasaan, yang juga disebut sebagai kalangan priyayi, dan rakyat kebanyakan.[18]
III. PENUTUP
Mengakhiri
pembahasan singkat dalam makalah ini, suatu kesimpulan ialah bahwa umat
Islam sepanjang ajaran agamanya, tidaklah menghendaki sesuatu kecuali
kebaikan bersama, sebagaimana dicontohkah oleh Rasulullah s.a.w dan
sahabat-sahabt beliau. Ukuran kebaikan itu tidak harus disesuaikan
dengan kepentingan golongan sendiri saja, sebab akhirnya agama Islam
disebut sebagai rahmat Allah bagi seluruh alam, umat manusia. Ukuran
kebaikan itu ialah kebaikan umum sejagad, dan meliputi pula sesama
makhluk hidup lain dalam lingkungan yang lebih luas. Ajaran-ajaran
universal Islam menyediakan bagi kaum Muslimin pandangan etika asasi
untuk melandasi pilihan dan keputusan dalam tindakan hidup, termasuk
dalam bidang sosial politik.
DAFTAR PUSTAKA
Google, Diambil dari Makalah yang disampaikan pada Diskusi INSISTS Kuala Lumpur, di Segambut, Kuala Lumpur, 9 Maret 2007. oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi M.Phil
Dr. Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam, Jakarta, cetakan kedua, Paramadina 2009
Drs. Ahmad Suhelmi, MA. Dari Kanan Islam Hingga Kiri Islam, Jakarta Timur, cetakan pertama, DARUL FALAH 2001
Dr. Badri Yatim, MA. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008
Prof. Miriam Budiardjo, Demokrasi Indonesia, Dempkrasi Perlementer dan Demokrasi Pancasila, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1994
Afan Gaffari, Politik Indonesia Tradisi Menuju Demokrasi, cetakan kedua, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2000
[1] Google, Diambil dari Makalah yang disampaikan pada Diskusi INSISTS Kuala Lumpur, di Segambut, Kuala Lumpur, 9 Maret 2007. oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi M.Phil
[2] Dr. Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam, Jakarta, cetakan kedua, PARAMADINA 2009, hal. Depan pengantar
[3] Dr. Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam, Jakarta, cetakan kedua, PARAMADINA 2009, hal. 3
[4] Drs. Ahmad Suhelmi, MA. Dari Kanan Islam Hingga Kiri Islam, Jakarta Timur, cetakan pertama, DARUL FALAH 2001, hal. 48
[5] Drs. Ahmad Suhelmi, MA. Dari Kanan Islam Hingga Kiri Islam, Jakarta Timur, cetakan pertama, DARUL FALAH 2001, hal. 49
[6] Dr. Badri Yatim, MA. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008. hal. 270
[7] Dr. Badri Yatim, MA. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008. hal. 271
[8] Dr. Badri Yatim, MA. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008. hal. 272
[9] Dr. Badri Yatim, MA. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008. hal. 275
[10] Dr. Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam, Jakarta, cetakan kedua, PARAMADINA 2009, hal. 4
[11] Dr. Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam, Jakarta, cetakan kedua, PARAMADINA 2009, hal. 5
[12] Dr. Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam, Jakarta, cetakan kedua, PARAMADINA 2009, hal. 5
[13] Prof. Miriam Budiardjo, Demokrasi Indonesia, Dempkrasi Perlementer dan Demokrasi Pancasila, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1994. hal. 185
[14] Dr. Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam, Jakarta, cetakan kedua, PARAMADINA 2009, hal. 6
[15] Afan Gaffari, Politik Indonesia Tradisi Menuju Demokrasi, cetakan kedua, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2000. hal. 106
[16] Prof. Miriam Budiardjo, Demokrasi Indonesia, Dempkrasi Perlementer dan Demokrasi Pancasila, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1994. hal. 83
[17] Prof. Miriam Budiardjo, Demokrasi Indonesia, Dempkrasi Perlementer dan Demokrasi Pancasila, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1994. hal. 92
[18] Afan Gaffari, Politik Indonesia Tradisi Menuju Demokrasi, cetakan kedua, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2000. hal. 107
Tidak ada komentar:
Posting Komentar