Jumat, 21 Maret 2014

Makalah Al-Fatwa



BAB I
KATA PENGANTAR
Segala puji Allah, Tuhan semesta alam. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah (sembahan) selain Allah, Pelindung bagi orang-orang shaleh. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, pemimpin orang-orang yang datang pada hari kiamat dalam keadaan putih bercahaya (ghurron muhajjaliin), Nabi yang telah mengemban risalah, menunaikan amanah dan menasehati umat serta meninggalkan di atas jalan yang terang benderang, di mana orang yang menyimpang daripadanya pasti akan binasa. Semoga Allah memberikan shalawat kepadanya serta kepada keluarganya, sahabat-sahabatnya dan orang-orang yang berda`wah sebagaimana Beliau berdakwah, (yaitu) orang-orang yang mengikuti sunnah dan jejaknya serta berjalan di atas jalannya sampai hari kiamat.
Makalah tentang Komisi Fatwa ini penting kita bahas karena lembaga MUI merupakan lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan fatwa menyangkut masalah untuk kemaslahatan umat Islam Indonesia.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua dan bisa kita jadikan suatu pelajaran demi menjalankan kehidupan ini. Amiiin.










BAB II
PEMBAHASAN
A.    Komisi Fatwa MUI
Fatwa mempunyai kedudukan yang tinggi dalam agama Islam. Fatwa dipandang menjadi salah satu alternatif yang bisa memecahkan kebekuan dalam perkembangan hukum Islam. Hukum Islam yang dalam penetapannya tidak bisa terlepas dari dalil-dalil keagamaan (an-nushush as-syari’iyah) menghadapi persoalan serius ketika berhadapan dengan permasalahan yang semakin berkembang yang tidak tercover dalam nash-nash keagamaan. Nash-nash keagamaan telah berhenti secara kuantitasnya, akan tetapi secara diametral permasalahan dan kasus semakin berkembang pesat seiring dengan perkembangan zaman. Sebagaimana ungkapan para ulama:
“Sesungguhnya nash itu terbatas, sedangkan persoalan-persoalan yang timbul tidak terbatas. Atau karena sesungguhnya  nash itu telah berhenti sedangkan permasalahan akan senantiasa muncul dan tidak pernah berhenti”.
Dalam kondisi seperti inilah fatwa menjadi salah satu alternatif jalan keluar mengurai permasalahan dan peristiwa yang muncul tersebut.[1]
Berangkat dari stegment di atas maka lahirlah MUI yang di dalamnya terdapat Komisi Fatwa MUI. Komisi Fatwa MUI ini merupakan bagian dari lembaga MUI itu sendiri. Komisi Fatwa telah dibentuk bersamaan dengan pembentukan majelis ulama Indonesia , yaitu pada tahun 1975 atas prakarsa presiden RI saat itu ( Alm) H. M. Soeharto . Fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh MUI sejak terbentuknya sampai sekarang terbagi menjadi 4 bagian:
1.      Fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh MUNAS MUI yang diadakan 5 tahun sekali . MUNAS merupakan badan tertinggi dalam MUI yang mengagendakan pemilihan ketua umum. Kategori fatwa didalamnya bersifat umum, baik menyangkut permasalahan aqidah, fiqih atau permasalahan- permasalahan lainnya.
2.      Fatwa yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI tentang permasalahan-permasalahan fiqih secara umum. Anggota-anggota Komisi Fatwa dalam sidang Fatwa tersebut adalah mereka yang terpilih menjadi anggota Komisi Fatwa dalam MUNAS MUI.

3.      Fatwa-fatwa yang dikeluarkan olah Komisi Fatwa MUI tentang pangan , obat dan kosmetik. Para peserta sidang Fatwa terdiri dari Komisi Fatwa dengan LPPOM . Anggota LPPOM hanya melaporkan hasil penemuan mereka tentang produk-produk pangan, sedangkan penetapan halal dikeluarkan oleh anggota Komisi Fatwa.
4.      Fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI. Kategori Fatwa dalam hal ini hanya berhubungan dengan ekonomi Islam saja, yaitu meliputi transaksi muamalah, bisnis dan lain sebagainya. (Yaqub, 2009: 260-261).


B.     Tugas dan Wewenang Komisi Fatwa MUI

1.      Mengeluarkan fatwa apabila ada persoalan yang memerlukan fatwa;
2.      Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan;
3.      Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang;
4.      Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam pembahasannya;
5.      Memberikan pemahaman kepada masyarkat tentang suatu persoalan;

C.     Proses Penyusunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
MUI merumuskan dasar-dasar dan prosedur penetapan fatwanya dalam Pedoman Penetapan Fatwa MUI yang ditetapkan pada tanggal 2 Oktober 1997. Dasar-dasar penetapan fatwa disebut dengan istinbath hukum. Dalam metode tersebut hal terpenting yang perlu diingat adalah bahwa fatwa harus mementingkan kemaslahatan umat dan memperhatikan pendapat para ulama mazhab fikih, baik pendapat yang mendukung maupun yang menentang. Namun demikian dalam penetapan fatwa tersebut selalu diupayakan jalan tengah antara dua pendapat yang bertolak belakang tersebut. Selain itu, dalam menetapkan fatwanya, MUI selalu melibatkan pendapat dari para pakar di bidang keilmuan sebagai bahan pertimbangan.


Dasar-dasar penetapan fatwa MUI tertuang pada bagian kedua pasal 2 yang berbunyi:
1.      Setiap keputusan fatwa harus mempunyai dasar atas kitabullah dan sunah rasul yang mu’tabarah, serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat.
2.      Jika tidak terdapat dalam kitabullah dan sunah rasul sebagaimana ditentukan pada pasal 2 ayat 1, keputusan fatwa hendaklah tidak bertentangan dengan ijma’ qiyas dan mu’tabar dan dalil-dalil hukum yang lain, seperti istihsan,  masalih mursalah, dan sadd az-zari’ah.
3.      Sebelum pengambilan keputusan fatwa hendaklah ditinjau pendapat-pendapat para dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat.
4.      Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil keputusan fatwanya dipertimbangkan.

Adapun prosedur penetapan fatwa tertuang pada bagian ketiga pasal 3 yang berbunyi:
1.      Setiap masalah yang disampaikan kepada komisi hendaklah terlebih dahulu dipelajari dengan seksama oleh para anggota komisi atau tim khusus sekurang-kurangnya seminggu sebelum disidangkan.
2.      Mengenai masalah yang telah jelas hukumnya (qath’iy) hendaklah komisi menyampaikan sebagaimana adanya, dan fatwa menjadi gugur setelah diketahui ada nash-nya dari Alquran dan Sunah.
3.      Dalam masalah yang terjadi khilaffiyah di kalangan mazhab, maka yang difatwakan adalah hasil tarjih, setelah memperhatikan fikih muqaran (perbandingan) dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul fikih muqaran yang berhubungan dengan pen-tarjih-an.[2]




D.    Metode-Metode Komisi Fatwa MUI dalam Mengeluarkan Fatwa[3]
Berfatwa harus tetap menjaga keseimbangan, antara harus tetap memakai manhaj yang telah disepakati para ulama, sebagai upaya untuk tidak terjerumus dalam kategori memberikan fatwa tanpa pertimbangan dalil hukum yang jelas. Tapi di sisi lain juga harus memperhatikan unsur kemaslahatan dari fatwa tersebut, sebagai upaya untuk mempertahankan posisi fatwa sebagai salah satu alternatif pemecah kebekuan dalam perkembangan hukum Islam.
Keberadaan metode dalam penetapan fatwa adalah sangat penting, sehingga dalam setiap proses penetapan fatwa harus mengikuti metode tersebut. Sebuah fatwa yang ditetapkan tanpa mempergunakan metodologi, keputusan hukum yang dihasilkannya kurang mempunyai argumentasi yang kokoh. Oleh karenanya, implementasi metode (manhaj) dalam setiap proses penetapan fatwa merupakan suatu keniscayaan.
Metode yang dipergunakan oleh Komisi Fatwa MUI dalam proses penetapan fatwa dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu:
1.       Pendekatan Nash Qath’i
Pendekatan Nash Qoth’i dilakukan dengan berpegang kepada nash al-Qur’an atau Hadis untuk sesuatu masalah apabila masalah yang ditetapkan terdapat dalam nash al-Qur’an ataupun Hadis secara jelas. Sedangkan apabila tidak terdapat dalam nash al-Qur’an maupun Hadis maka penjawaban dilakukan dengan pendekatan Qauli dan Manhaji.
2.      Pendekatan Qauli
Pendekatan Qauli adalah pendekatan dalam proses penetapan fatwa dengan mendasarkannya pada pendapat para imam mazhab dalam kitab-kitab fiqih terkemuka (al-kutub al-mu’tabarah). Pendekatan Qauli dilakukan apabila jawaban dapat dicukupi oleh pendapat dalam kitab-kitab fiqih terkemuka (al-kutub al-mu’tabarah) dan hanya terdapat satu pendapat (qaul), kecuali jika pendapat (qaul) yang ada dianggap tidak cocok lagi untuk dipegangi karena sangat sulit untuk dilaksanakan (ta’assur atau ta’adzdzur al-‘amal atau shu’ubah al-‘amal) , atau karena alasan hukumnya (‘illah) berubah. Dalam kondisi seperti ini perlu dilakukan telaah ulang (i’adatun nazhar), sebagaimana yang dilakukan oleh ulama terdahulu. Karena itu mereka tidak terpaku terhadap pendapat ulama terdahulu yang telah ada bila pendapat tersebut sudah tidak memadai lagi untuk didijadikan pedoman.
Apabila jawaban permasalahan tersebut tidak dapat dicukupi oleh nash qoth’i dan juga tidak dapat dicukupi oleh pendapat yang ada dalam kitab-kitab fiqih terkemuka (al-kutub al-mu’tabarah), maka proses penetapan fatwa dilakukan melalui pendekatan manhaji.
3.      Pendekatan Manhaji
Pendekatan Manhaji adalah pendekatan dalam proses penetapan fatwa dengan mempergunakan kaidah-kaidah pokok (al-qowaid al-ushuliyah) dan metodologi yang dikembangkan oleh imam mazhab dalam merumuskan hukum suatu masalah. Pendekatan manhaji dilakukan melalui ijtihad secara kolektif (ijtihad jama’i), dengan menggunakan metoda : mempertemukan pendapat yang berbeda (al-Jam’u wat taufiq), memilih pendapat yang lebih akurat dalilnya (tarjihi), menganalogkan permasalahan yang muncul dengan permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh (ilhaqi) dan istinbathi.       
Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di kalangan imam mazhab maka penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu di antara pendapat-pendapat madzhab melalui metode al-Jam’u wa al-Taufiq.
Jika usaha al-Jam’u wa al-Taufiq tidak berhasil maka penetapan fatwa dilakukan melalui metode tarjihi (memilih pendapat ulama yang dinilai paling kuat dalil dan argumentasinya), yaitu dengan menggunakan metode perbandingan mazhab (muqaran al-madzahib) dan dengan menggunakan kaedah-kaedah ushul fiqh perbandingan.
Membiarkan masyarakat untuk memilih sendiri pendapat para ulama yang ada sangatlah berbahaya, karena hal itu berarti membiarkan masyarakat untuk memilih salah satu pendapat (qaul) ulama tanpa menggunakan prosedur, batasan dan patokan. Oleh karena itu, menjadi kewajiban lembaga fatwa yang memiliki kompetensi untuk memilih pendapat (qaul) yang rajih (lebih kuat dalil dan argumentasinya) untuk dijadikan pedoman bagi masyarakat.
Ketika satu masalah atau satu kasus belum ada pendapat (qaul) yang menjelaskan secara persis dalam kitab fiqh terdahulu (al-kutub al-mu’tabarah) namun terdapat padanannya dari masalah tersebut, maka penjawabannya dilakukan melalui metode ilhaqi, yaitu menyamakan suatu masalah yang terjadi dengan kasus padanannya dalam al-kutub al-mu’tabarah.
Sedangkan metode Istinbathi dilakukan ketika tidak bisa dilakukan dengan metode ilhaqi karena tidak ada padanan pendapat (mulhaq bih) dalam al-kutub al-mu’tabarah. Metode istinbathi dilakukan dengan memberlakukan metode qiyasi, istishlahi, istihsani dan sadd al-dzari’ah.
Secara umum penetapan fatwa di MUI selalu memperhatikan pula kemaslahatan umum (mashalih ‘ammah) dan intisari ajaran agama (maqashid al-syari’ah). Sehingga fatwa yang dikeluarkan oleh MUI benar-benar bisa menjawab permasalahan yang dihadapi umat dan benar-benar dapat menjadi alternatif pilihan umat untuk dijadikan pedoman dalam menjalankan kehidupannya.














BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Komisi Fatwa MUI ini merupakan bagian dari lembaga MUI itu sendiri. Komisi Fatwa telah dibentuk bersamaan dengan pembentukan majelis ulama Indonesia , yaitu pada tahun 1975 atas prakarsa presiden RI saat itu ( Alm) H. M. Soeharto.
Metode-Metode Komisi Fatwa MUI dalam Mengeluarkan Fatwa
1.      Pendekatan Nash Qath’i
2.      Pendekatan Qauli
3.      Pendekatan Manhaji
Tugas dan Wewenang Komisi Fatwa MUI
Ø  Mengeluarkan fatwa apabila ada persoalan yang memerlukan fatwa;
Ø  Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan;
Ø  Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang;
Ø  Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam pembahasannya;
Ø  Memberikan pemahaman kepada masyarkat tentang suatu persoalan;

B.     KRITIK DAN SARAN
Tak ada gading yang tak retak, merupakan pepatah lama namun berlaku sepanjang masa.dalam hal ini pula penulis merasa perlu adanya suatu kritikan serta saran dari semua pihak dan pembaca.agar kedepannya penulisan dapat melakukan hal yang lebih baik.saran dan kritik merupakan suatu media bagi penulis,untuk penulis menggukur sebatas mana kemampuan penulis serta kesuksesan penulis dalam pembuatan makalah atau karya tulis dan juga cara penyelesaiannya.maka dari itu penulis berharap banyak dari pihak-pihak serta pembaca memberikan kritik dan saran kepada penulis sehingga penulis dapat mengetahui kesalahan serta kekurangannya.





[1] http://www.mui.or.id
[2] Pedoman Penetapan Fatwa MUI Nomor: U-596/MUI/X/1997
[3] KH. Ma’ruf Amin. Fatwa dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta: Elsas. 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar