BAB I
KATA PENGANTAR
Segala puji Allah, Tuhan semesta alam. Aku bersaksi bahwa tidak ada
ilah (sembahan) selain Allah, Pelindung bagi orang-orang shaleh. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, pemimpin orang-orang yang
datang pada hari kiamat dalam keadaan putih
bercahaya (ghurron muhajjaliin), Nabi yang telah mengemban
risalah, menunaikan amanah dan menasehati
umat serta meninggalkan di atas jalan
yang terang benderang, di mana orang yang menyimpang daripadanya pasti akan binasa. Semoga Allah memberikan
shalawat kepadanya serta kepada keluarganya,
sahabat-sahabatnya dan orang-orang
yang berda`wah sebagaimana Beliau berdakwah, (yaitu) orang-orang yang
mengikuti sunnah dan jejaknya serta berjalan
di atas jalannya sampai hari kiamat.
Makalah tentang Komisi Fatwa ini penting kita bahas karena lembaga
MUI merupakan lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan fatwa menyangkut
masalah untuk kemaslahatan umat Islam Indonesia.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua dan bisa kita jadikan
suatu pelajaran demi menjalankan kehidupan ini. Amiiin.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Komisi
Fatwa MUI
Fatwa
mempunyai kedudukan yang tinggi dalam agama Islam. Fatwa dipandang menjadi
salah satu alternatif yang bisa memecahkan kebekuan dalam perkembangan hukum
Islam. Hukum Islam yang dalam penetapannya tidak bisa terlepas dari dalil-dalil
keagamaan (an-nushush as-syari’iyah) menghadapi persoalan serius
ketika berhadapan dengan permasalahan yang semakin berkembang yang tidak
tercover dalam nash-nash keagamaan. Nash-nash keagamaan telah berhenti secara
kuantitasnya, akan tetapi secara diametral permasalahan dan kasus semakin
berkembang pesat seiring dengan perkembangan zaman. Sebagaimana ungkapan para
ulama:
“Sesungguhnya
nash itu terbatas, sedangkan persoalan-persoalan yang timbul tidak terbatas.
Atau karena sesungguhnya nash itu telah berhenti sedangkan permasalahan
akan senantiasa muncul dan tidak pernah berhenti”.
Dalam kondisi seperti inilah fatwa menjadi salah satu alternatif jalan
keluar mengurai permasalahan dan peristiwa yang muncul tersebut.[1]
Berangkat dari stegment di
atas maka lahirlah MUI yang di dalamnya terdapat Komisi Fatwa MUI. Komisi
Fatwa MUI ini merupakan bagian dari lembaga MUI itu sendiri. Komisi Fatwa telah
dibentuk bersamaan dengan pembentukan majelis ulama Indonesia , yaitu pada
tahun 1975 atas prakarsa presiden RI saat itu ( Alm) H. M. Soeharto .
Fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh MUI sejak terbentuknya sampai sekarang terbagi
menjadi 4 bagian:
1. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh
MUNAS MUI yang diadakan 5 tahun sekali . MUNAS merupakan badan tertinggi dalam
MUI yang mengagendakan pemilihan ketua umum. Kategori fatwa didalamnya bersifat
umum, baik menyangkut permasalahan aqidah, fiqih atau permasalahan-
permasalahan lainnya.
2. Fatwa yang dikeluarkan oleh Komisi
Fatwa MUI tentang permasalahan-permasalahan fiqih secara umum. Anggota-anggota
Komisi Fatwa dalam sidang Fatwa tersebut adalah mereka yang terpilih menjadi
anggota Komisi Fatwa dalam MUNAS MUI.
3. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan olah
Komisi Fatwa MUI tentang pangan , obat dan kosmetik. Para peserta sidang Fatwa
terdiri dari Komisi Fatwa dengan LPPOM . Anggota LPPOM hanya melaporkan hasil
penemuan mereka tentang produk-produk pangan, sedangkan penetapan halal
dikeluarkan oleh anggota Komisi Fatwa.
4. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh
Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI. Kategori Fatwa dalam hal ini hanya
berhubungan dengan ekonomi Islam saja, yaitu meliputi transaksi muamalah,
bisnis dan lain sebagainya. (Yaqub, 2009: 260-261).
B. Tugas dan Wewenang Komisi Fatwa MUI
1. Mengeluarkan
fatwa apabila ada persoalan yang memerlukan fatwa;
2. Mengawasi
penerapan fatwa yang telah dikeluarkan;
3. Mengeluarkan
fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh
instansi yang berwenang;
4. Mengundang
para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam pembahasannya;
5. Memberikan
pemahaman kepada masyarkat tentang suatu persoalan;
C. Proses
Penyusunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
MUI
merumuskan dasar-dasar dan prosedur penetapan fatwanya dalam Pedoman Penetapan
Fatwa MUI yang ditetapkan pada tanggal 2 Oktober 1997. Dasar-dasar penetapan
fatwa disebut dengan istinbath hukum. Dalam metode tersebut hal terpenting yang
perlu diingat adalah bahwa fatwa harus mementingkan kemaslahatan umat dan
memperhatikan pendapat para ulama mazhab fikih, baik pendapat yang mendukung
maupun yang menentang. Namun demikian dalam penetapan fatwa tersebut selalu
diupayakan jalan tengah antara dua pendapat yang bertolak belakang tersebut.
Selain itu, dalam menetapkan fatwanya, MUI selalu melibatkan pendapat dari para
pakar di bidang keilmuan sebagai bahan pertimbangan.
Dasar-dasar
penetapan fatwa MUI tertuang pada bagian kedua pasal 2 yang berbunyi:
1. Setiap
keputusan fatwa harus mempunyai dasar atas kitabullah dan sunah rasul yang
mu’tabarah, serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat.
2. Jika
tidak terdapat dalam kitabullah dan sunah rasul sebagaimana ditentukan pada
pasal 2 ayat 1, keputusan fatwa hendaklah tidak bertentangan dengan ijma’ qiyas
dan mu’tabar dan dalil-dalil hukum yang lain, seperti istihsan, masalih mursalah, dan sadd az-zari’ah.
3. Sebelum
pengambilan keputusan fatwa hendaklah ditinjau pendapat-pendapat para
dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh
pihak yang berbeda pendapat.
4. Pandangan
tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil keputusan fatwanya
dipertimbangkan.
Adapun
prosedur penetapan fatwa tertuang pada bagian ketiga pasal 3 yang berbunyi:
1. Setiap
masalah yang disampaikan kepada komisi hendaklah terlebih dahulu dipelajari
dengan seksama oleh para anggota komisi atau tim khusus sekurang-kurangnya
seminggu sebelum disidangkan.
2. Mengenai
masalah yang telah jelas hukumnya (qath’iy) hendaklah komisi menyampaikan
sebagaimana adanya, dan fatwa menjadi gugur setelah diketahui ada nash-nya dari
Alquran dan Sunah.
3. Dalam
masalah yang terjadi khilaffiyah di kalangan mazhab, maka yang difatwakan
adalah hasil tarjih, setelah memperhatikan fikih muqaran (perbandingan) dengan
menggunakan kaidah-kaidah ushul fikih muqaran yang berhubungan dengan
pen-tarjih-an.[2]
D. Metode-Metode Komisi Fatwa MUI dalam
Mengeluarkan Fatwa[3]
Berfatwa
harus tetap menjaga keseimbangan, antara harus tetap memakai manhaj
yang telah disepakati para ulama, sebagai upaya untuk tidak terjerumus dalam
kategori memberikan fatwa tanpa pertimbangan dalil hukum yang jelas. Tapi di
sisi lain juga harus memperhatikan unsur kemaslahatan dari fatwa tersebut,
sebagai upaya untuk mempertahankan posisi fatwa sebagai salah satu alternatif
pemecah kebekuan dalam perkembangan hukum Islam.
Keberadaan metode dalam penetapan fatwa adalah sangat penting, sehingga
dalam setiap proses penetapan fatwa harus mengikuti metode tersebut. Sebuah
fatwa yang ditetapkan tanpa mempergunakan metodologi, keputusan hukum yang
dihasilkannya kurang mempunyai argumentasi yang kokoh. Oleh karenanya,
implementasi metode (manhaj) dalam setiap proses penetapan fatwa
merupakan suatu keniscayaan.
Metode yang dipergunakan oleh Komisi Fatwa MUI dalam proses penetapan
fatwa dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu:
1.
Pendekatan Nash Qath’i
Pendekatan Nash Qoth’i dilakukan dengan berpegang kepada nash
al-Qur’an atau Hadis untuk sesuatu masalah apabila masalah yang ditetapkan terdapat
dalam nash al-Qur’an ataupun Hadis secara jelas. Sedangkan apabila
tidak terdapat dalam nash al-Qur’an maupun Hadis maka penjawaban
dilakukan dengan pendekatan Qauli dan Manhaji.
2. Pendekatan
Qauli
Pendekatan Qauli adalah pendekatan dalam proses penetapan fatwa
dengan mendasarkannya pada pendapat para imam mazhab dalam kitab-kitab fiqih
terkemuka (al-kutub al-mu’tabarah). Pendekatan Qauli
dilakukan apabila jawaban dapat dicukupi oleh pendapat dalam kitab-kitab fiqih
terkemuka (al-kutub al-mu’tabarah) dan hanya terdapat satu pendapat (qaul),
kecuali jika pendapat (qaul) yang ada dianggap tidak cocok lagi untuk
dipegangi karena sangat sulit untuk dilaksanakan (ta’assur atau ta’adzdzur
al-‘amal atau shu’ubah al-‘amal) , atau karena alasan
hukumnya (‘illah) berubah. Dalam kondisi seperti ini perlu dilakukan
telaah ulang (i’adatun nazhar), sebagaimana yang dilakukan oleh ulama
terdahulu. Karena itu mereka tidak terpaku terhadap pendapat ulama terdahulu
yang telah ada bila pendapat tersebut sudah tidak memadai lagi untuk
didijadikan pedoman.
Apabila jawaban permasalahan tersebut tidak dapat dicukupi oleh nash
qoth’i dan juga tidak dapat dicukupi oleh pendapat yang ada dalam
kitab-kitab fiqih terkemuka (al-kutub al-mu’tabarah), maka proses
penetapan fatwa dilakukan melalui pendekatan manhaji.
3. Pendekatan
Manhaji
Pendekatan Manhaji
adalah pendekatan dalam proses penetapan fatwa dengan mempergunakan
kaidah-kaidah pokok (al-qowaid al-ushuliyah) dan metodologi yang
dikembangkan oleh imam mazhab dalam merumuskan hukum suatu masalah. Pendekatan manhaji
dilakukan melalui ijtihad secara kolektif (ijtihad jama’i), dengan
menggunakan metoda : mempertemukan pendapat yang berbeda (al-Jam’u wat
taufiq), memilih pendapat yang lebih akurat dalilnya (tarjihi), menganalogkan
permasalahan yang muncul dengan permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya
dalam kitab-kitab fiqh (ilhaqi) dan istinbathi.
Dalam masalah yang terjadi khilafiyah
di kalangan imam mazhab maka penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha
penemuan titik temu di antara pendapat-pendapat madzhab melalui metode al-Jam’u
wa al-Taufiq.
Jika usaha al-Jam’u wa
al-Taufiq tidak berhasil maka penetapan fatwa dilakukan melalui metode tarjihi
(memilih pendapat ulama yang dinilai paling kuat dalil dan argumentasinya),
yaitu dengan menggunakan metode perbandingan mazhab (muqaran al-madzahib)
dan dengan menggunakan kaedah-kaedah ushul fiqh perbandingan.
Membiarkan masyarakat untuk
memilih sendiri pendapat para ulama yang ada sangatlah berbahaya, karena hal
itu berarti membiarkan masyarakat untuk memilih salah satu pendapat (qaul) ulama
tanpa menggunakan prosedur, batasan dan patokan. Oleh karena itu, menjadi
kewajiban lembaga fatwa yang memiliki kompetensi untuk memilih pendapat (qaul)
yang rajih (lebih kuat dalil dan argumentasinya) untuk dijadikan
pedoman bagi masyarakat.
Ketika satu masalah atau satu
kasus belum ada pendapat (qaul) yang menjelaskan secara persis dalam
kitab fiqh terdahulu (al-kutub al-mu’tabarah) namun terdapat
padanannya dari masalah tersebut, maka penjawabannya dilakukan melalui metode ilhaqi,
yaitu menyamakan suatu masalah yang terjadi dengan kasus padanannya dalam al-kutub
al-mu’tabarah.
Sedangkan metode Istinbathi
dilakukan ketika tidak bisa dilakukan dengan metode ilhaqi karena
tidak ada padanan pendapat (mulhaq bih) dalam al-kutub
al-mu’tabarah. Metode istinbathi dilakukan dengan
memberlakukan metode qiyasi, istishlahi, istihsani
dan sadd al-dzari’ah.
Secara umum penetapan fatwa di MUI selalu memperhatikan pula kemaslahatan
umum (mashalih ‘ammah) dan intisari ajaran agama (maqashid
al-syari’ah). Sehingga fatwa yang dikeluarkan oleh MUI benar-benar bisa
menjawab permasalahan yang dihadapi umat dan benar-benar dapat menjadi alternatif
pilihan umat untuk dijadikan pedoman dalam menjalankan kehidupannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Komisi
Fatwa MUI ini merupakan bagian dari lembaga MUI itu sendiri. Komisi Fatwa telah dibentuk
bersamaan dengan pembentukan majelis ulama Indonesia , yaitu pada tahun 1975
atas prakarsa presiden RI saat itu ( Alm) H. M. Soeharto.
Metode-Metode Komisi Fatwa MUI dalam
Mengeluarkan Fatwa
1.
Pendekatan Nash Qath’i
2. Pendekatan
Qauli
3. Pendekatan
Manhaji
Tugas dan Wewenang Komisi Fatwa MUI
Ø Mengeluarkan
fatwa apabila ada persoalan yang memerlukan fatwa;
Ø Mengawasi
penerapan fatwa yang telah dikeluarkan;
Ø Mengeluarkan
fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh
instansi yang berwenang;
Ø Mengundang
para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam pembahasannya;
Ø Memberikan
pemahaman kepada masyarkat tentang suatu persoalan;
B.
KRITIK DAN SARAN
Tak ada gading yang tak
retak, merupakan pepatah lama namun berlaku sepanjang masa.dalam hal ini pula
penulis merasa perlu adanya suatu kritikan serta saran dari semua pihak dan
pembaca.agar kedepannya penulisan dapat melakukan hal yang lebih baik.saran dan
kritik merupakan suatu media bagi penulis,untuk penulis menggukur sebatas mana
kemampuan penulis serta kesuksesan penulis dalam pembuatan makalah atau karya
tulis dan juga cara penyelesaiannya.maka dari itu penulis berharap banyak dari
pihak-pihak serta pembaca memberikan kritik dan saran kepada penulis sehingga
penulis dapat mengetahui kesalahan serta kekurangannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar